Ibu Pertiwi dan Aku Lahir Tepat di 2030 (Part I)

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Sasbud
Ilustrasi bagendaali com

“Aku tak mau lahir, Ibu.”

“Kau jangan berkata begitu,” elus Pertiwi yang sedang mengandung 6 bulan itu.

***

Dua hari lalu, Pertiwi pergi ke dokter. Tiga bulan terakhir, ia sering merasa pusing dan mual. Namun, bagianya gejala yang sering ia derita itu hanyalah satu gejala wajar karena ia sedang hamil. Suaminya juga tidak begitu memperhatikannya, karena Pertiwi selalu pandai menenangkan sang suami, tatkala ia nampak begitu lemas dan pucat, setiap kali pusingnya kambuh.

Dan hari itu, 27 September 2029, gejala pusingnya kambuh hingga membuatnya terjatuh ketika sedang pergi ke kamar mandi. Untunglah kandungannya kuat, dan si bayi dalam kandungan itu di nyatakan baik-baik saja. Barukarena kejadian itulah ia mau diajak ke dokter. Bersama suaminya, ia pergi ke dokter kandungan di daerahnya.

Mula-mula dokter amat curiga, ada kontradiksi yang amat mencolok. Pertiwi punya peluang besar untuk melahirkan bayinya dengan selamat dan normal. Tapi ada kemungkinan yang amat mengkhawatirkan di balik semua itu. Akhirnya doktor menggunakan segala analisis yang memungkinkan dengan menggunakan uji laboratorium dan sebagainya. Dari sini, dokter akhirnya memberanikan diri untuk mengambil kesimpulan pada pemeriksaannya.

Kepada sang suami, dokter berkata. “Dengan cara bagaimanapun juga, kami sulit memastikan kondisi Ibu Pertiwi saat melahirkan nanti. Kelahiran bayi Bapak, baik secara normal maupun sesar akan sangat beresiko. Ibu mengidap penyakit hemofilia.”

Sang suami, terbingung-bingung mendengar penjelasan semacam ini. Ada ekspresi antara ingin marah dan sedih takut kehilangan istrinya itu. Di dalam lamunannya ada bisikan yang membuatnya kian lemas.

“Dokter bukanlah seorang sastrawan yang suka mengarang cerita. Bukan aktor yang menciptakan narasi fiksi. Ia berkata lewat analisis logis, dengan metode ilmiah. Ia bukan politisi yang suka menakut-nakuti, yang suka menebar kontradiksi antara ucapan dan lakunya.”

“Oh, Tuhan. Bagaimana ini ?” sambil menghela nafas begitu panjang.

***

Oleh: Sukartono (Alumni MTK UNAIR 2012)

Berita Terkait

Sukartono

Sukartono

Mahasiswa Program Studi Matematika Fakultas Sains dan Teknologi Angkatan 2012