’Green Politics’ dalam Upaya Pembangunan Berkelanjutan

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
DIBUTUHKAN kebijakan yang serasi antara industrialisasi dan penyelamatan lingkungan hidup. (Foto: Istimewa)

Dewasa ini, lingkungan alami telah banyak mengalami kerusakan dan terdegradasi. Sehingga sangat perlu untuk diperhatikan kelestariannya demi kelangsungan hidup manusia. Menyikapi fenomena ini, green politics theory (politik hijau) menjadi salah satu solusi konkret dan menarik untuk dijadikan sebagai instrumen dalam mengkaji, merencanakan program lingkungan, dan mewujudkan kelestarian lingkungan.

Produk politik yang menciptakan regulasi berbasis politik hijau, tentunya akan mengarahkan kita kepada upaya penyelamatan dan perbaikan lingkungan, sekaligus optimalisasi pemanfaatan lingkungan berbasis pembangunan berkelanjutan yang eco-friendly.

Dalam politik hijau, lingkungan menjadi sumber daya yang menyediakan bahan untuk memenuhi kebutuhan. Sumber daya tersebut setidaknya dibagi dalam tiga sektor, yaitu sumber daya alam, sumber daya ekonomi, dan sumber daya politik.

Sebagai sumber daya alam, lingkungan menyediakan bahan-bahan mentah untuk memenuhi kebutuhan pokok hidup manusia dan atau menjamin kelangsungan hidupnya. Sebagai sumber daya ekonomi, lingkungan dapat menjadi penggerak perekonomian, baik sebagai penyedia bahan baku atau komoditas ekonomi maupun sebagai penyedia tempat melangsungkan kegiatan ekonomi.

Sedangkan sebagai sumber daya politik, lingkungan dapat mempengaruhi dan berperan dalam proses-proses politik, seperti proses pergantian kekuasaan, proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan, serta proses pengawasan terhadap keputusan yang telah dibuat.

Dalam konteks ke-Indonesia-an, politik hijau dapat dikaji dari kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Indonesia. Namun sebelum melihat contoh kebijakan yang dilakukan pemerintah, perlu memperhatikan tugas pokok fungsi pemerintah terlebih dahulu. Setidaknya ada empat fungsi pemerintah Indonesia yang dapat dilihat menggunakan kacamata politik hijau ini.

Pertama, fungsi regulative yaitu mengatur tata cara pengelolaan sumber daya alam, termasuk syarat-syarat ketika melakukan eksploitasi sumber daya alam. Bahkan sebelum melaksanakan eksploitasi, sudah harus dilakukan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) sebagai aturan awalnya. Salah satu contoh, pemerintah mewajibkan PT Semen Indonesia melakukan AMDAL sebelum mendirikan pabrik semen dan eksploitasi sumber daya alam di pegunungan Kendeng, Jawa Tengah.

Kedua, fungsi alokatif. Fungsi ini menempatkan berbagai jenis manfaat material dan non-material untuk kepentingan kelestarian lingkungan. Contohnya, pemerintah Indonesia membentuk beberapa kementerian yang tugasnya mengurusi hal ihwal lingkungan, seperti Kementerian Lingkungan Hidup, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan. APBN yang didapat dari pajak juga dialokasikan untuk mendorong kinerja dan program-program kementerian tersebut.

Ketiga, fungsi distribusi. Disini pemerintah memberikan berbagai bantuan yang bersifat material dan non-material untuk kepentingan kelestarian lingkungan dan memenuhi kebutuhan rakyat. Contoh pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan membagikan 690 paket bantuan alat penangkap ikan ramah lingkungan kepada nelayan sebagai solusi mengatasi maraknya illegal fishing yang merusak lingkungan.

Terakhir, fungsi ekstraktif, yaitu keputusan politik yang memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk memonopoli penyerapan sumber daya alam untuk kepentingan kelestarian lingkungan dan pemenuhan kebutuhan masyarakat. Contohnya, pemerintah melalui Kementerian Energy dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) beserta perusahaan dibawahnya mengelola langsung eksploitasi sumber daya di pegunungan Kendeng untuk produksi semen.

Kebijakan pemerintah dalam bekerjasama dengan Multinational Corporation (MNC) dan Transnational Corporation (TNC) dalam melakukan industrialisasi menjadi salah satu contoh yang dapat dikaji menggunakan politik hijau ini. Dalam menjelaskan kebijakan pemerintah yang bekerjasama dengan MNC dan TNC sebagai upaya mewujudkan skema industri hulu ke hilir, politik hijau dapat diimplementasikan sebagai dasar dari integrasi skema industri.

Mulai dari pemilihan bahan baku, proses produksi, jasa terkait, hingga menjadi produk akhir, bahkan sampai pada daur ulang produk industri tersebut. Aspek-aspek lingkunga dalam politik hijau digunakan sebagai alat analisis dan pendorong upaya pemanfaatan alam Indonesia di sektor-sektor lainnya yang menopang kehidupan negara.

Hal tersebut dilakukan dengan upaya mereduksi efek negatif pada lingkungan seminimal mungkin atau bahkan (bila mampu) tidak ada efek samping terhadap lingkungan sama sekali.

Dengan menggandeng MNC dan TNC ini tujuannya untuk menyediakan investasi, promosi produk, dan program industri berbasis eco-friendly yang mendunia. Hal tersebut kemudian menjadi wajar aklau disangsikan, terutama dari segi konservasi dan preservasi lingkungan.

Maka dari itu, alangkah lebih baiknya bila politik hijau mampu hadir sebagai mekanisme kontrol terhadap skema industri hulu ke hilir, sehingga pembangunan yang akan terjadi akan berbasis kepada aspek lingkungan dan sustainable development.

Apabila pembangunan industri di Indonesia menggunakan analisa green politics, maka proses pembangunan tersebut akan dijiwai oleh semangat pelestarian lingkungan. Salah satu sektor kimia hilir yang mampu mendorong ekonomi berkeadilan di Indonesia, antara lain industri barang jadi karet.

Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, potensi industri barang jadi karet di dalam negeri misalnya, dari hulunya didukung dengan area perkebunan karet terluas di dunia mencapai 3,64 juta hektare. Sedangkan di sektor hilir, yang diantaranya meliputi industri ban, sarung tangan karet, dan komponen otomotif, terdiri dari 308 perusahaan dengan kapasitas produksi 1,4 juta ton per tahun.

Hal tersebut kemudian, dalam prosesnya, jika didukung oleh politik hijau maka akan menjadikan rangkaian proses yang ramah lingkungan dan bahkan nanti ketika produk hilir telah jadi, maka akan sudah siap pula skema daur ulang atau pengolahan sampahnya.

Dengan demikian, sikap ini sangat mendukung penciptaan ekonomi berkeadilan dan pembangunan berkelanjutan di Indonesia, sehingga kemudian dalam implementasinya, pemerintah akan mengurangi hambatan-hambatan di sektor perindustrian dan mampu menciptakan iklim investasi yang kondusif di dalam negeri. (*)

Editor : Bambang Bes

Berita Terkait

Aiman Bahalwan

Aiman Bahalwan

Penulis adalah Mahasiswa jurusan Ilmu Politik, FISIP Universitas Airlangga, angkatan 2015. Founder Komunitas Penulis Muda Sidoarjo.