Refleksi Hari Kesehatan Nasional, Pentingnya Investasi Pembangunan SDM

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
kesehatan
DALAM suatu bakti sosial pemeriksaan kesehatan, selalu dipenuhi masyarakat yang ingin memeriksakan kesehatannya. Ini tolok ukur bahwa persoalan kesehatan sangat penting. Sebuah refleksi peringatan HKN 2017. (Foto: Bambang Bes)

HKN atau Hari Kesehatan Nasional diperingati setiap tanggal 12 November. Riwayat ditetapkannya tanggal tersebut sebagai HKN berawal dari peristiwa sederhana, tetapi sarat makna. Hari itu, tanggal 12 November, 58 tahun yang lalu, Presiden Soekarno dalam perjalanan pulang dari Solo menuju Jakarta,  melalui bandara Adi Sutjipto Yogyakarta.

Mengapa singgah di Yogyakarta? Karena dijadwalkan singgah di rumah seorang guru Sekolah Dasar (SD) bernama Darsono, di Desa Kringinan, Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Keperluannya untuk memberikan Komando Nasional Pemberantasan Penyakit Malaria (KNPPM). Setelah beristirahat sebentar di Balai Desa Tirtomartani, dengan berjalan kaki Presiden Soekarno menuju rumah Darsono. Presiden kemudian menyemprotkan cairan DDT ke dinding ruang bagian dalam rumah Darsono yang terbuat dari gedek (anyaman bambu).

Provinsi DIY dipilih sebagai lokasi pencanangan komando pemberantasan malaria secara nasional, mengingat waktu itu DIY bersama Provinsi Jawa Tengah dan Lampung merupakan wilayah-wilayah yang mempunyai angka penderita penyakit malaria relatif tinggi. KNPPM itu sendiri tertuang dalam Keppres Nomor 118 Tahun 1959 yang pencanangannya baru dilakukan Presiden Soekarno beberapa hari setelah keputusan dikeluarkan.

Penyakit malaria yang ditularkan nyamuk Anopheles waktu itu memang menjadi musuh utama masyarakat Indonesia. Penyakit ini banyak menimbulkan kesengsaraan dan kematian, sehingga bila tidak diberantas secara nasional, kata Bung Karno, “akan dapat mengurangi kekuatan bangsa”.

Sebagai tindak lanjut dari Keppres dan KNPPM tersebut, dibentuklah Panitia Negara Urusan Pembasmian Malaria yang diketuai Menteri Kesehatan dan terdiri dari departemen lintas sektoral, seperti unsur Departemen Dalam Negeri, pertahanan, penerangan, pelayaran, keuangan, biro perancang nasional serta perguruan tinggi. Pelaksanaan panitia ini dilakukan KNPPM yang ada di daerah-daerah.

Kondisi Kesehatan Zaman Now

Saat ini, kondisi kesehatan masyarakat Indonesia sangat berbeda dibandingkan dengan 58 tahun yang lalu. Transisi epidemiologi dari penyakit menular ke penyakit tidak menular di Indonesia cukup signifikan. Jika dulu penyakit menular seperti malaria, demam berdarah, diare, ISPA, TBC, dan penyakit infeksi lainnya mendominasi jenis penyakit di Indonesia, saat ini penyakit tidak menular seperti jantung koroner, stroke, kanker, dan gagal ginjal menjadi permasalahan kesehatan utama di Indonesia.

Hal ini disebabkan banyak factor. Salah satunya adalah perubahan pola gaya hidup masyarakat ke arah gaya hidup yang tidak sehat, seperti kebiasaan merokok, kurang beraktivitas fisik, kurang mengonsumsi sayur dan buah, dan sebagainya.

Hal lain yang berbeda dari 58 tahun yang lalu adalah Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Jika dulu masyarakat  menanggung sendiri biaya untuk berobat (fee for service), maka mulai tahun 2014 pemerintah mencanangkan program JKN yang diselenggarakan melalui mekanisme asuransi kesehatan nasional yang sifatnya wajib berdasarkan UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Tujuannya untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat yang layak diberikan kepada orang yang telah membayar iuran atau iuran yang dibayarkan oleh pemerintah.

Harus diakui, program JKN sejak didirikan tahun 2014 telah memberikan manfaat luar biasa bagi rakyat Indonesia. Selama tahun 2014-2016, sebanyak Rp 168 triliun dikeluarkan oleh BPJS Kesehatan untuk biaya pelayanan kesehatan dengan 416,8 juta pemanfaatan  program JKN-KIS ini.

Hasil survey Myriad Research Comitted sungguh istimewa. Hasil itu menunjukkan indeks kepuasan peserta BPJS mencapai angka 81%. Ini melampaui target pemerintah yang hanya 75%. Namun, yang menjadi “trending topic” saat ini adalah defisit BPJS yang terus membengkak dari tahun ke tahun, keluhan care provider yang tak kunjung reda, dan keluhan masyarakat tentang kualitas pelayanan BPJS. Timbul pertanyaaan, apakah kepuasaan pasien bisa menjadi tolak ukur menilai layanan kesehatan?

Laporan Indeks Daya Saing World Economic Forum (WEF) 2017-2018 menunjukkan, bahwa kualitas pelayanan kesehatan dan pendidikan dasar di Indonesia dalam kondisi yang mencemaskan, yaitu berada pada posisi ke-94 dari 137 negara. Level kesehatan Indonesia jauh tertinggal dari negara-negara ASEAN lainnya seperti Singapore (3), Malaysia (30), Vietnam (67), dan Thailand (90).

Posisi ini memang meningkat enam peringkat dibandingkan tahun sebelumnya 2016-2017 (100), namun sempat anjlok 20 peringkat dari tahun 2015-2016 (80). Data ini menunjukkan bahwa negara ASEAN lain telah melakukan investasi pembangunan manusia secara tepat, sedangkan kita masih belum menemukan “formula” yang tepat.

Pembangunan manusia adalah investasi terpenting dari suatu negara. Sejarah membuktikan, SDM adalah kunci dari keberhasilan negara dalam membangun masa depannya dan bukan sumber daya alam. Banyak negara yang tidak memiliki sumber daya alam sekaya Indonesia, tetapi saat ini menjadi negara maju dan memiliki indeks daya saing yang lebih baik dari Indonesia.

Keliru apabila melihat bidang kesehatan sebatas pada layanan kesehatan semata. Kesehatan jelas berkaitan erat dengan ketahanan nasional suatu bangsa. Akankah sistem kebijakan kesehatan Indonesia mengalami kemunduran dari tahun ke tahun?

Semua tergantung dari pemerintah. Apabila pada saat zaman pemerintahan Soekarno saja paham mengenai kondisi ini, sehingga beliau sendiri yang turun tangan dalam menjaga kedaulatan kesehatan Indonesia, bagaimana dengan sekarang? (*)

Editor: Bambang Bes

*) Penulis, Jagaddhito Probokusumo, adalah dokter umum lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Pengurus IDI Kota Surabaya, Wakil Sekretaris Jendral Bidang Eksternal Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia 2014/2015, dan Ketua BEM FK Unair 2013.

Berita Terkait

Jagaddhito Probokusumo

Jagaddhito Probokusumo

Penulis, adalah dokter lulusan FK Universitas Airlangga, saat ini peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Jantung dan Pembuluh Darah di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Pengurus IDI Kota Surabaya, dan pernah menjabat Wakil Presiden Eksternal Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia 2014-2015,d an Ketua BEM FK UNAIR periode 2013-2014. (*)