Sudahkah Kita Memenuhi Hak-hak Anak?

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
hak anak
SEBUAH gambar tentang tuntutan anak-anak untuk senantiasa bergembira. (Ilustrasi: POPULAR-world.com)

PADA tanggal 20 November 2017, hari ini, momen peringatan Hari Anak se-Dunia kembali digaungkan. Baru-baru ini, UNICEF mengadakan kampanye tentang pemenuhan Hak-Hak Anak. Dalam kaitannya dengan kondisi para generasi muda Indonesia saat ini, tentu penting untuk mengkampanyekan sesuatu yang dibutuhkan anak dan bagaimana seorang anak harus diperlakukan oleh orang tua, guru, teman sebaya atau pun orang-orang di sekitarnya.

Momentum Hari Anak se-Dunia mungkin terlalu luas untuk dibicarakan. Karenanya, saya ingin mengajak pembaca untuk menapak tilas kekeliruan yang terjadi di negeri ini. Tentu, kita tidak ingin mengulangi kesalahan sama yang terjadi beberapa bulan silam. Kasus bullying tidak menjadi pokok pembahasan yang jarang diperbincangkan di Indonesia.

Tahun 2011 hingga 2014, kasus bullying di sekolah tercatat sebagai kasus terbanyak yang diadukan masyarakat ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Tercatat ada 369 pengaduan. Jumlah ini tentu mengkhawatirkan berbagai pihak. Salah satu kasus yang terjadi bulan Agustus lalu adalah siswa kelas II SD di Kebumen meninggal karena dipukuli teman sekelasnya. Dilihat dari munculnya kasus ini, tentu jika tidak ada api, gejolak tidak akan terjadi.

Mengetahui fakta seputar kasus bullying  ini, anak seharusnya menjadi perhatian khusus di lingkungan keluarga dan sekolah. Untuk mencegah adanya bullying, dua stakeholders ini tentunya tidak bisa bekerja secara terpisah. Sinkronisasi pendidikan moral perlu ditanamkan di dua kondisi; saat anak di rumah dan saat anak di sekolah.

Namun, wacana ini tentu merujuk pada bagaimana sebenarnya orang tua dan guru memahami tentang kebutuhan anak, sehingga mereka bisa terhindar dari perilaku dan sasaran bullying. Kasus bullying seperti halnya contoh di atas, memang mengakibatkan siswa tersebut meninggal. Ini mengindikasikan bahwa ada yang tidak beres dari lingkungan sekolah tempat anak tersebut belajar.

Mari kita renungkan, apa yang sudah kita ketahui tentang kebutuhan anak/anak didik kita. Apakah orang tua dan guru telah mengetahui Hak-Hak Anak yang sejatinya harus dipenuhi? Apakah orang tua dan guru pernah sedikitpun memahami poin-poin Hak-Hak Anak yang tercetus di hukum Indonesia dan konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB)? Jika belum, mari kita pahami bersama.

Hak-Hak Anak yang diratifikasi ke dalam Kepres No 36 Tahun 1997 terdiri dari 10 hak mutlak. Itu berarti hak-hak ini wajib dihargai hukumnya oleh orang tua maupun guru. Hak ini meliputi Hak Gembira, Hak Pendidikan, Hak Perlindungan, Hak untuk Memperoleh Nama, Hak atas Kebangsaan, Hak Makanan, Hak Kesehatan, Hak Rekreasi, Hak Kesamaan, dan Hak Peran dalam Pembangunan.

Dari kesepuluh hak-hak anak ini, saya menekankan pada Hak Perlindungan yang berkaitan dengan kasus bullying yang terjadi di Indonesia. Negara wajib untuk menjamin dan menghargai perlindungan dan perawatan anak seperti yang tercetus di Konvensi Hak-Hak Anak PBB.

Hal ini dapat terjadi jika elemen-elemen kecil di dalamnya bekerja untuk mensinkronkan pemahaman-pemahaman bersama. Pasal 3 dalam Konvensi Hak-Hak Anak PBB menyatakan ”Negara-negara Pihak berusaha menjamin perlindungan dan perawatan anak-anak seperti yang diperlukan untuk kesejahteraannya, dengan memperhatikan hak-hak dan kewajiban-kewajiban orang tuanya, wali hukumnya atau orang-orang lain yang secara sah atas dia, dan untuk tujuan ini, harus mengambil semua tindakan legislatif dan administratif yang tepat.”

Artinya, peran keluarga dan sekolah menjadi sangat penting dalam pencegahan kasus bullying. Misal, bullying di sekolah mungkin tidak akan terjadi jika guru mau terlibat untuk “ngemong”, observatif, atau sedikit interogatif. Nilai-nilai untuk saling menghargai perbedaan dan rasa saling menyayangi dapat dibangun melalui kegiatan di kelas yang dapat meningkatkan nilai-nilai afektif anak satu sama lain.

Sama halnya dengan sikap yang harus diambil oleh orang tua di rumah. Orang tua menjadi “tempat curhat” yang mumpuni jika orang tua membangun kedekatan dengan anak. Dengan memberikan anak ruang untuk bercerita, orang tua setidaknya tahu masalah anak di lingkungan sekitarnya.

Opini ini penulis ungkap setelah mendengar langsung kasus-kasus kekerasan pada anak dari seorang aktivis sosial bernama Yuliati Umrah. Ia adalah pendiri Yayasan Arek Lintang Surabaya, tempat pengembangan bakat dan rumah cerita untuk anak-anak di Surabaya.

Awal berdirinya yayasan ini berasal dari pengalamannya dalam berhubungan dengan carut-marut sosial di Kota Surabaya yang berkaitan dengan anak-anak. Mendengar kisahnya dalam mengurus anak-anak jalanan yang dipukuli orang tuanya dan bahkan di-bully di sekolahnya, menjadi insipirasi untuk mengkritisi sejauh mana kita menghargai hak-hak anak.

Setiap orang tua dan guru perlu tahu bahwa sebagian anak-anak Indonesia terbiasa dengan silent culture, yaitu budaya yang membuat anak takut berbicara karena mereka jadi korban atau melakukan kesalahan. Budaya inilah yang perlahan harus kita hapus bersama agar memberikan ruang kepada anak untuk berdiskusi dengan orang terdekatnya.

Jika Thomas Alpha Edison saja bisa menemukan lampu karena ia mendapat dukungan dari Ibunya yang berhasil mendidik dan mengembangkan minat Thomas, bukankah orang tua dan guru juga seharusnya mampu untuk mendukung anak-anaknya menjadi lebih terbuka dan dihargai. Selamat Hari Anak se-Dunia untuk anak-anak Indonesia yang hebat! (*)

Editor : Bambang Bes

Berita Terkait

Imamatul Khair

Imamatul Khair

Penulis adalah Alumni Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Mahasiswa Berprestasi (Mawapres) Universitas Airlangga 2017 Editorial Assistant of Jurnal Administrasi Kesehatan Indonesia