‘Critical Thinking’ untuk Memberangus Isu Hoax dan Radikalisme

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
critical
Critical Thinking. (Ilustrasi: www.courses4you.com)

AKHIR-akhir ini masyarakat banyak diresahkan oleh tersebarnya berita hoax, berita palsu, dan berita isu yang tidak jelas kebenarannya. Berita-berita itu tersebar di berbagai media cetak maupun media elektronik di Indonesia, dan yang paling gencar pada media sosial.

Beberapa personal dan oknum yang tidak bertanggung jawab sengaja membuat berita hoax dengan berbagai maksud. Ada motif untuk menjatuhkan pihak lawan, mencemarkan nama baik, mencari kontroversi (dengan dalih ketenaran), sampai mengunggulkan dan mempromosikan golongan atau kelompok tertentu.

Media publik sengaja meramaikan dengan isu hoax sebagai legitimasi agar masyarakat percaya bahwa dengan keadaan yang diberitakan itu, media yang sejatinya esensi itu justru menjadi sensasi. Senggol sana senggol sini merupakan keadaan realita yang menimpa dunia media di Indonesia.

Masalah lain yang menjadi viral saat ini juga berasal dari maraknya isu radikalisme in-toleran di tengah masyarakat Indonesia. Isu agama dijadikan alasan sebagai alat untuk mengacaukan kebhinekaan dan stabilitas politik. Keyakinan yang buta (taklid) dan budaya ikut-ikutan tampaknya juga dijadikan kesempatan oleh organisasi massa (ormas) untuk tidak bertanggungjawab untuk ikut menyebarluaskan paham radikalisme.

Di tengah keadaan yang seperti sekarang ini, masyarakat Indonesia dituntut untuk senantiasa selektif dan self help dalam memilah dan memilih dan atau mendengarkan berita-berita yang beredar.

Salah satu langkah yang efektif untuk mencegah atau menangkal berita hoax dan isu-isu radikalisme itu antara lain dengan menggunakan critical thinking (berpikir kritis), yaitu metode berpikir dengan cara skeptis, analitis, dan praktis untuk mengidentifikasi prasangka-prasangka, berita bias (isu keberpihakan), propaganda, kebohongan, distorsi (penyesatan), misinformasi (informasi yang salah), terhadap media yang sedang diberitakan (FK UNS, 2014: 1).

Selama ini, critical thinking hanya digunakan sebatas pada dunia akademis, birokrasi dan dunia kedokteran. Namun, mengingat kondisi jagad media di negeri ini, seperti yang terurai diatas, rasanya critical thinking perlu untuk diberdayakan dan dikedepankan.

Kemudian, gagasan baru untuk mengimplementasikan critical thinking itu dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dalam jangka pendek dan jangka panjang. Dalam rencana jangka pendek, critical thinking dapat dilakukan dengan membentuk sekelompok ”kaum literasi” untuk menulis opini di media massa (koran, buletin, majalah dan berita lain) di Indonesia.

Kaum literasi ini akan menggunakan diskusi Sokrates, yaitu suatu diskusi dengan pemecahan isu masalah terkini, kemudian mengintegrasikannya ke dalam sebuah tulisan. Latihan ini mencakup pengajuan pertanyaan-pertanyaan yang dapat mencetuskan pemikiran kritis (FK UNS, 2014:4).

Dalam jangka panjang, critical thinking dapat dijadikan sebagai sebuah mata ajar pada sekolah atau mata kuliah pada perguruan tinggi. Cara ini dipandang sangat efektif, dimana guru dan atau dosen mengajarkan critical thinking melalui daya kritis siswa dan mahasiswa, kemudian mengomparasikannya ke dalam pembenaran fakta dari berita hoax dan radikalisme.

Khusus untuk mahasiswa, kelompok status ini tidak hanya berperan sebagai agent of change, tetapi juga sekaligus bisa berperan sebagai distribution of change yang merupakan penyebaran secara menyeluruh kepada masyarakat.

Kemudian, jika cara jangka panjang dapat dilakukan, maka eksistensi berita hoax dan penanaman faham radikalisme tersebut kiranya akan sulit dilakukan. Ini untuk menjaga integrasi dan kebhinekaan negara kita, Indonesia. Semoga. (*)

Editor: Bambang Bes

Berita Terkait

Fariz Ilham Rosyidi

Fariz Ilham Rosyidi

Penulis adalah mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga, angkatan tahun 2016. Staf Advokasi IKAHIMSI Jawa Timur 2017, dan Staf Kajian Strategis HMD Ilmu Sejarah 2017.