Cinta dalam Berzakat I

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi
Ilustrasi elzawa.uin-malang.ac.id

UNAIR NEWS –  Ia juga ikut berbagi zakat kepada para fakir lainnya di penghujung Ramadhan tahun ini. Baginya, selagi ada yang masih bisa digunakan untuk berbagi, ia akan berkeras untuk berzakat. Walau ia sendiri adalah fakir miskin penerima zakat.

Ketika ada pembagian zakat dari takmir masjid, ia sekelurga selalu mendapatkan bagian 4 bungkus—tidak lebih. Hanya saja, tahun ini sepertinya jatah itu terkurangi. Jumlah warga penerima zakat meningkat. Ia hanya memperoleh 3 kantong saja.

Inilah dilema bagi keluarga ini. Tahun-tahun sebelumnya ia mengandalkan 4 kantong itu untuk di zakatkan kembali kepada yang berhak. Anggota keluarga mereka berjumlah 4. Dan apa daya, tahun ini ia harus mengurangi jatah beras untuk kehidupan sehari-harinya demi menunaikan kewajiban zakat keluarganya.

Usut punya usut, persedian beras mereka sudah tidak banyak. Tak ada tumpukan gabah, karena mereka hanya petani penggarap—yanghanya mendapatkan bagian sepersekian dari hasil panen. Selebihnya hasil panen adalah hak si empunya lahan.

“Kenapa Bapak, ngotot.”, protes istrinya.

Ia tak melanggapi keluhan istrinya. Justru ia bergegas pergi untuk mencari cara agar bisa menunaikan kewajibannya. Tapi, malam itu bunyi takbir sudah berdengung. Di mana-mana gelegar kemenangan dikumandangkan dengan suka ria. Artinya, esok hari sebelum sholat I’d adalah deadline akhir bagi usahanya.

“Sudahlah, Bu. Zakatkan tiga bungkus itu untuk Ibu, Azam dan Qori’. Bapak ndak usah.”

Istrinya, kali ini tak mau berdebat lagi. Perintah suaminya itu kemudian segera dilaksanakannya.

Di perjalanan, dengan membawa tas yang berisi bungkusan beras yang siap ia bagikan. Seorang perempuan berkerudung, dengan berpakaian rapi menyapanya.

“Asalamualaikum. Mau kemana Bu ? Kog kelihatannya terburu-buru.”

Dengan malu-malu, sambil tersenyum, dijawablah sapaan tadi.

“Waalaikumsalam. Eh, Bu Nyai. Ini Bu, lagi menunaikan amanat Bapak.”

Ceritanya, malam itu Pak Kyai memperoleh sedekah banyak dari para orang tua santri yang sesuai adat kebiasaan, selalu sowan di malam takbiran tiba.

“Eh, kebetulan. Mampir ke rumah dulu Bu. Saya juga dapat pesanan dari Pak Yai. Nggak terburu-buru to.”

Bersambung…

 Penulis: Sukartono (Alumni Matematika UNAIR 2012)

Berita Terkait

Sukartono

Sukartono

Mahasiswa Program Studi Matematika Fakultas Sains dan Teknologi Angkatan 2012