Idealisme, Moral, dan Semester Akhir: Tantangan Mahasiswa

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
moral
Idealisme, moral, dan tanggungjawab belajar: tantangan menjadi mahasiswa. (Foto: Sciencedaily.com)

PREDIKAT sebagai seorang mahasiswa merupakan level derajat paling tinggi yang disematkan bagi kalangan penuntut ilmu. Sudah tentu, predikat tersebut disandangkan untuk mengukuhkan diri bahwa mahasiswa adalah insan pengejar ilmu yang harus memiliki kesadaran keilmuan secara lebih holistik, baik di tingkat penguasaan pengetahuan, maupun pada praktik moral pertanggungjawaban keilmuan itu sendiri kepada masyarakat. Dalam kerangka itulah gelar mahasiswa sejatinya teramat sakral, mewah, dan tidak boleh disia-siakan, terlebih lagi disalahgunakan.

Lebih jauh lagi, ada banyak catatan sejarah yang kemudian menempatkan peran sentral mahasiswa sebagaimana yang selalu didengungkan; yakni tampil sebagai leader of change di saat-saat kritis yang paling menentukan. Oleh karena itu, baju idealisme adalah senjata yang tidak boleh ditanggalkan oleh para mahasiswa sekaligus para lulusannya yang telah diwisuda.

Idealisme ibaratnya taring ideology, yang tanpa sadar bisa mendorong sebuah energi amat besar, sehingga perubahan itu menjadi suatu keniscayaan. Idealisme itu pula bisa menjadi cermin pembimbing, yang selalu mengajak akal dan budi kita selalu berdiskusi. Menjauh dari watak tercela, membimbing pada pandangan moral yang benar. Tidak berdusta, dan berani ksatria: hidup mati mempertahankan kejujuran dan kebenaran.

Sebagai bagian dari mahasiswa itu sendiri, sebagai bagian dari Ksatria Airlangga dengan semboyan “Excelencce with morality”, sesungguhnya kita diajak untuk tidak hanya hafal kalimat dari semboyan tersebut. Akan tetapi juga meresapinya serta menerimanya tanpa sanksi. Karena kita yakin bahwa diri kita berusaha agar mampu mengemban amanat yang berat, seirama dengan dengan gelar mahasiswa dan gelar Ksatria Airlangga.

Dengan demikian, modal moral termasuk dalam idealisme mahasiswa. Perlu digali lebih jeli lagi, bahwa walaupun realitas menggerusnya dengan berbagai cara. Tetapi sepanjang kita jujur pada diri sendiri, kita tidak akan kalah.

Kita harus terus memelihara kadar idealisme mahasiswa ini sama besarnya ketika pertama kali kita diterima (sebagai mahasiswa), ketika kita optimis semasa menjadi mahasiswa baru, maupun di penghujung sisa-sisa masa perkuliahan. Tentu saja, ini akan amat hebat jika memeliharanya tidak lekang dimakan oleh waktu hingga akhir hayat nanti.

Kemudian point dari idealisme yang disandingkan dengan moral akan menjaga tata perilaku, yang tidak lain karena jenjang usia kedewasaan, luasan pengetahuan, sekaligus derajat kehormatan diri seseorang dan almamater yang (senantiasa) perlu dijaga. Ibaratnya: jangan sampai nila setitik merusak susu sebelanga. Teramat durhaka. Guru-guru kita akan ternistakan karena ulah kelakuan moral yang melenceng dari ajaran dan suara idealisme yang pernah menggelora.

Marilah memaknai idealisme tersebut sebagai bagian dari cara kita untuk adil kepada diri sendiri dan kepada orang lain. Kalau kita percaya bahwa berbuat curang itu adalah sebuah pengingkaran terhadap nilai-nilai kebenaran, maka standar itu tidak boleh hanya diberlakukan hanya untuk menghantam objek-objek yang ada di luar diri kita.

Justru, warning itu pertama dan yang utama harus membuat diri seseorang mau untuk membuka mata. Membuka makna tentang gelora perjuangannya —walau memang terkadang di banyak kasus, kita ingin segalanya itu serba instan karena terlalu jenuh.

Sebagai pejuang semester akhir yang harus dijalani oleh seorang mahasiswa, seyogyanya dijaga agar spirit idealisme mahasiswa tidak pernah untuk dilupakan. Spirit itu harus menjadi modal yang lebih luas untuk menyongsong keberkahan dalam menyelesaikan tugas akhir dan mensyukuri prosesi wisuda yang sudah di depan mata.

Insya Allah, mimpi-mimpi yang sudah direncanakan itu akan dimudahkan kalau kita punya kemauan keras untuk jujur, menjadi pejuang yang gigih, memegang idealisme serta bersiteguh memegang moral dan pekerti. Kemudian benar-benar keluar dengan membawa ilmu yang “Excellence with morality”. Semoga. Amin. (*)

Editor: Bambang Bes

Berita Terkait

Ema Marantika

Ema Marantika

Penulis adalah mahasiswa Bidikmisi FISIP UNAIR, salah satu penulis buku “Menjemput Senja” (karya mahasiswa Bidikmisi Universitas Airlangga), Finalis lomba kewirausahaan (National Business Challenge di UNY, 2015 dan PMW dari PPKK Universitas Airlangga 2016).