Bisakah Dokter Indonesia Diandalkan di Era MEA?

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
dokter
STETOSKOP dan baju (jas) warna putih, simbul kedokteran. (Foto: Ist)

SAAT ini Indonesia telah memasuki era Asian Free Trade Area (AFTA). Negara-negara di Asia Tenggara akan melakukan liberalisasi perdagangannya. Salah satu poin dari AFTA merupakan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang juga melakukan liberalisasi di bidang jasa.

Dalam bidang kesehatan terdapat tiga profesi yang akan diliberalisasi, yaitu dokter, dokter gigi dan perawat. Satu hal yang dikhawatirkan jasa kesehatan akan mengikuti mekanisme pasar dan  Indonesia terjebak dalam situasi ini, karena kualitas tenaga kerja kita yang masih kurang kompetitif.

Masuknya Indonesia dalam AFTA memaksa negeri ini untuk mengikuti mekanisme pasar dalam usaha jasanya. Kompetisi menjadi ketat. Produk jasa yang berkualitas tinggi akan menguasai pasar. Kompetitor yang lemah tidak akan dapat bertahan dan akhirnya ditinggalkan. Jasa kesehatan Indonesia terancam oleh kompetitor-kompetitor lain yang (sementara) lebih maju seperti Singapura, Malaysia dan Thailand.

Kualitas dan kuantitas pelayanan kesehatan di Indonesia, harus kita akui, masih perlu pembenahan. Rasio dokter spesialis di Indonesia saja terbilang rendah dibandingkan negara-negara ASEAN lain. Masyarakat seakan tidak percaya dengan kualitas dokter dalam negeri. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya masyarakat, terutama yang memiliki ekonomi menengah ke atas untuk berobat ke luar negeri. Singkatnya, pelayanan kesehatan di Indonesia belum siap untuk berkompetisi dengan negara lain di ASEAN.

Ketidaksiapan tenaga kesehatan Indonesia ini dihadapkan pada tantangan-tantangan yang belum terselesaikan. Apa saja itu? Komunikasi dan koordinasi antar lini dalam bidang kesehatan masih memprihatinkan. Ditambah dengan implementasi di lapangan yang masih kurang. Hal ini  mengakibatkan pencapaian kesehatan yang rendah.

Kemudian dominasi pelayanan kuratif atas preventif, serta distribusi dokter yang tidak merata akan mengakibatkan tantangan penyakit infeksi ditambah dengan penyakit bersumber dari gaya hidup yang semakin meningkat.

Di sektor hulu, proses pendidikan para calon dokter juga memegang peranan penting. Sayangnya, pendidikan kedokteran ini belum didukung penuh oleh pemerintah. Pendidikan kedokteran yang seharusnya menciptakan dokter-dokter yang paripurna, seakan ternodai dengan maraknya praktik komersialisasi.

Kasus terbaru, kegiatan belajar mengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Papua (Unipa) yang akhirnya “dibuka” kembali setelah berhenti selama sepuluh bulan karena kekurangan biaya. Pembukaan kembali FK Unipa itu setelah ada perjanjian kerjasama tentang pengembangan pendidikan dokter di Kemenristekdikti antara Pemerintah Papua Barat, Unipa, dan Universitas Indonesia (25/7/2017).

Sebelumnya, 102 mahasiswa FK Unipa sejak Oktober 2016 tidak dapat melanjutkan kegiatan akademiknya dikarenakan tidak adanya biaya dari Pemkab Sorong untuk mendatangkan dosen dari UI. Belum lagi maraknya Fakultas Kedokteran yang dibuka oleh Kemenristekdikti tanpa melalui rekomendasi dari tim evaluasi pengusulan program studi yang mereka bentuk sendiri.

Bahkan mahasiswa FK Universitas Bosowa, Sulawesi Selatan, yang baru berdiri tahun 2016 lalu  melakukan kegiatan perkuliahannya di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya dan bukan di Sulawesi tempat asal FK mereka sendiri.

Intinya, mutu pendidikan kedokteran yang ada juga belum merata, kalau boleh dikatakan masih rendah. Hal ini ditandai dengan ”hanya” 17 dari 83 program studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran di Indonesia yang terakreditasi A (sumber: BAN PT).

Rendahnya kualitas pendidikan tersebut akan berimbas pada ketidaksiapan dokter untuk berkompetisi di arena AFTA. Permasalahan-permasalahan tersebut timbul akibat kurangnya komunikasi, koordinasi, dan implementasi antar stakeholders yang menangani bidang kesehatan.

Berbicara masalah kesehatan, kita tidak bisa hanya menyalahkan dokter dan Kemenkes. Saya menghitung, setidaknya terdapat sekitar 20 stakeholders atau malah lebih yang ikut terlibat dalam bidang kesehatan, mulai dari dokter, dokter gigi, perawat, bidan, IDI, KKI, DPR, KKI, BPJS, Kemenristekdikti, Pemprov, Pemkot, BPK, KPK, BPOM, Jaksa, Polri, media hingga pasien. Itu semua adalah stakeholders yang berkaitan dengan bidang kesehatan dan diperlukan komunikasi, koordinasi, dan implementasi antar stakeholders tersebut.

Melihat realita seperti itu, pemerintah seyogyanya perlu berbenah dan mereformasi pendidikan kedokteran dan peningkatan mutu berbasis teknologi. Reformasi tersebut antara lain mencakup strategi pembiayaan, seleksi (mahasiswa) masuk perguruan tinggi dan distribusi dokter. Dengan demikian dokter kembali menjadi aktor dalam mendukung ketahanan nasional.

Ini sangat penting, mengingat kesehatan merupakan bagian dari ketahanan nasional dan tidak bisa kita serahkan kepada mekanisme pasar. Pembiayaan mahasiswa kedokteran dikembalikan sepenuhnya kepada pemerintah. Mahasiswa tidak lagi dibebani oleh biaya pendidikan yang terbilang fantastis.

Seleksi masuknya juga harus diperketat, sehingga tersaring mahasiswa yang berkualitas dan benar-benar tepat sasaran. Selain itu pemerintah wajib untuk mendistribusikan dokter ke daerah yang membutuhkan. Ketiga strategi tersebut diharapkan mampu meningkatkan kualitas dokter guna memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan masyarakat secara mandiri.

Selain meningkatkan kualitas dokter, penguasaan teknologi berbasis kedokteran juga perlu untuk ditingkatkan. Penguasaan teknologi kedokteran akan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan sehingga kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dalam negeri akan meningkat.

Upaya untuk meningkatkan penguasaan teknologi ditempuh dengan mengirimkan tenaga kesehatan Indonesia untuk mengembangkan ilmunya ke luar negeri, atau mendatangkan pakar teknologi ke Indonesia untuk alih teknologinya. Pemerintah sendiri yang harus memimpin penguasaan teknologi dengan perbaikan kebijakan pengadaan alat teknologi canggih, perbaikan infrastruktur, dan insentif bagi pengembangan ilmu dan teknologi ini. Kiranya itu. (*)

*) Penulis adalah dokter umum lulusan FK UNAIR, Pengurus IDI Surabaya 2017-2020. Pernah menjabat sebagai Vice President External Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia (ISMKI) 2014, dan Ketua BEM Fakultas Kedokteran UNAIR 2013. Tinggal di: JagaddhitoProbokusumo@gmail.com

Editor: Bambang Bes

Berita Terkait

Jagaddhito Probokusumo

Jagaddhito Probokusumo

Penulis, adalah dokter lulusan FK Universitas Airlangga, saat ini peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Jantung dan Pembuluh Darah di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Pengurus IDI Kota Surabaya, dan pernah menjabat Wakil Presiden Eksternal Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia 2014-2015,d an Ketua BEM FK UNAIR periode 2013-2014. (*)