Tentang Kebuntuan Itu I

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi
Ilustrasi http://homiliekaristi.blogspot.co.id

UNAIR NEWS – Obrolan ini nyaris saja berakhir. “Akhiri sajalah, percuma”, takdir tidak diubah dengan kata-kata, melainkan harus menggunakan tindakan.

Si empunya kursi itu mulai berdiri. “Kursiku sudah terasa panas”, tas yang ada di atas meja ia kenakan. Yang lain dengan mata awas mengawasi pergeraknnya. Ia sudah tidak betah, dan akan bergegas pergi. Tiba-tiba lelaki yang duduk di seberang tatapannya bersuara menahan, “Tunggu”.

“Tak usah terburu-buru”, sambil melirik jamnya, dengan sedikit membersihkan debu yang mengotori kaca arloji itu, lelaki tadi mencoba membujuk. “Ini masih sore.”

Ia sepertinya hanya menggertak pergi.

Ia tertegun berdiri, belum berbalik membelakangi kawan-kawannya. Raut wajahnya makin kusut, kerutan di kepalanya hampir-hampir membalikkan usianya yang masih muda. Bibirnya menyatu dalam tanda tanya antara cemberut dan tersenyum sinis.

Dengan pelupuk mata yang hampir kosong, sesekali ia tolehkan kesan bahwa dirinya sedang menunggu. Ia pandang satu persatu mereka yang tanpa gairah. Semua serempak menjadi makin lesu. Isi kepala yang jejal dan berat, sudah melunturkan segalanya. Ia hembuskan nafas panjang penuh kesabaran.

“Duduklah kembali” lelaki tadi menghampirinya, kedua pundaknya di pegang lelaki itu, “Ayolah” kata lelaki itu sambil berjalan mengarahkannya untuk duduk kembali ke kursinya. Ia tak melawan dan pasrah kembali ke tempatnya, bisalah kalau dianggap ia sedang menahan kecewa.

Di minggu ini, mungkin kebuntuan itu akan terpupus ketika semua sudah mulai putus asa.Tak ada yang berani untuk melawan. Kini ia melirik kearah depan lurus. Ia mulai sumeleh, digapailah kopi sisa yang tersaji di hadapannya.

“Itu tinggal ampas” ungkapku dalam hati.

Mungkin getir, rasa pahit dan gelap kopi yang ia minum adalah isyarat bahwa saat ini yang sedang berlangsung adalah suguhan-suguhan yang pahit berampas. Suguhan tanpa pilihan lain kecuali warna gelap, kecuali rasa perasaan yang sebenarnya tidak benar-benar akan mengobati kehausan itu sendiri.

“Siapa yang mau berkorban ?”

“Tidak ada”

“Apa kita takut ?”

“Kita benar-benar takut pada diri masing-masing”

“Ini masih tidak jelas”

Pada pembicaraan tersebut, ia malah terdiam saja, mendengarkan sambil bersandar di dinding yang membatasi antara ruang luar dan bilik lain dalam kafe itu. Ia pejamkan matanya sambil mengayun-ayunkan kepalanya secara ritmis namun lembut, sesekali ia menjedukkan bagian belakang kepalanya ke dinding yang terbuat dari asbes itu, dengan wajah terpejam yang mendongak ke atas. Tangannya yang ada di meja juga ia ketuk-ketukkan penanda bahwa sebenarnya ia tidak sedang tidur.

Dengan berat, ia keluarkan suaranya lagi, kali ini agak serak. Ia mendehem. “Jangan pernah merasa yakin pada kepasrahan. Kehebataan kata-kata dan mantra-mantra gagasan hanya bisa kita puji kalau terbukti. Tapi kalau terus kita abaikan maka selamanya kita tidak pernah tahu, apakah gagasan ini tepat atau salah.”

Diantara mereka menyela. “Lantas apa yang harus kita ambil, semua buntu.”

Lelaki yang tadi menolak pasrah. “Selamanya kita tidak akan pernah tahu jika kita selalu memilih kalah. Kita harus bisa mengambil keputusan.”

Lagi. “Jangan kau anggap dengan lari dari masalah semua selesai. Belajarlah mengambil keputusan.”

“Iya. Tidak mungkin kita melimpahkan sesuatu keputusan dengan asumsi bahwa kedaulatan kita saat ini adalah harga murah, meski segalanya memang kita niati untuk sepakat tentang ketidaksepakatan”

Seorang yang ada di sampingku, yang dari awal memilih mendengar saja, kini saatnya ia bicara. Si muka lonjong ini mungkin punya alternatif.Mulailah ia membuka-buka tas dan mengeluarkan sebatang pensil. Kertas yang ada di depanku di raihnya.

“Apa yang kau tulis itu” lirih tanyaku padanya, berharap yang lain masih fokus.

“Nggak” jawabnya.

bersambung….

Berita Terkait

Sukartono

Sukartono

Mahasiswa Program Studi Matematika Fakultas Sains dan Teknologi Angkatan 2012