Tantangan Alumni Bidikmisi, Ekspektasi dan Realitanya

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
alumni bidikmisi
Mahasiswa Bidikmisi. (Ilustrasi)

Manusia dididik agar pintar. Benar dan tepatkah parameter itu untuk menyelesaikan seluruh persoalan di negeri ini? Mungkin iya, namun bisa juga tidak. Akan tetapi orang-orang yang pintar selalu istimewa, karena dia berpeluang besar memperoleh kemudahan menata masa depan, meskipun hanya bersandar atas kepandaiannya saja.

Kalau Anda mendengar tentang Bidikmisi, maka mahasiswa dan lulusannya adalah bagian dari sejarah itu semua. Yaitu sejarah orang-orang yang terdidik dan beruntung. Mengapa? Sebab mereka dipilih dan dibiayai oleh Negara, meskipun untuk meraihnya harus bersaing dan menyisihkan sesama kelas ekonominya demi duduk di kursi perguruan tinggi. Itulah perjuangan.

Hanya rasa syukur dan kebanggaanlah yang bisa kita panjatkan sebagai bentuk kesadaran bahwa Bidikmisi merupakan bagian penting dari perjalanan anak bangsa yang terpilih untuk mencari ilmu menuju sebuah gelar kesarjanaan, yang sungguh terlampau mewah bagi kelas ekonomi kurang mampu. Karena sadar bahwa pendidikan tinggi masih terlampau mahal.

Apabila berkaca pada idealisme, sebenarnya kebanggaan dan kesyukuran itu sendiri adalah modal penting, namun belum cukup. Tingginya prestasi itu baru titik awal dari pengabdian. Tetapi sebenarnya, terdapat tantangan lain yang lebih besar yang disandarkan kepada lulusan peraih beasiswa dari pemerintah bernama Bidikmisi itu. Mereka memang tidak dituntut untuk membalas budi, tetapi naluri balas budi adalah panggilan jiwa yang suci, dalam rangka merealisasikan cita-cita Bidikmisi: memutus mata rantai kemiskinan.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam suratnya kepada mahasiswa peraih Bidikmisi tertanggal 11 Maret 2014, menegaskan sebuah harapan atas masa depan lulusan Bidikmisi.

Saya ingin pada saatnya nanti, ikutlah mengubah jalannya sejarah. Bayar dan tebuslah apa yang telah negara berikan kepada kalian semua…”

Demikian petikan Pak SBY yang mengingatkan betapa besarnya beban yang ditanggungkan para generasi Bidikmisi: ”mengubah jalannya sejarah” dan tentunya dengan paradigma baru yang mengarah pada kemajuan bangsa.

Beasiswa ini tidak boleh hanya melahirkan kelas priyayi baru yang asyik dengan zona nyamannya sendiri-sendiri. Melainkan generasi Bidikmisi harus mampu menyokong perubahan zaman dengan kepekaan sosialnya sebagai anak-anak negara.

Kalau kita membaca kisah-kisah menarik, yang mengandung nilai motivasi dan pengharapan dari buku “Para Pembidik Mimpi: 99 Kisah Penerima Bidikmisi Berprestasi”, tentu optimisme tentang kebangkitan Generasi Bidikmisi sebagai bagian dari kado 100 tahun Indonesia sangatlah niscaya. Diantara mereka banyak yang kemudian melakukan studi lanjut di perguran tinggi ternama di tanah air maupun di manca negara.

Tidak heran juga kalau M. Nuh dalam buku “Menyemai Kreator Peradaban” juga menyatakan optimis bahwa “dalam 5-10 tahun mendatang akan hadir di negeri tercinta ini ribuan master dan doktor dari keluarga miskin”.

Kita berharap upaya-upaya lulusan Bidikmisi yang masih terus berlangsung dalam menghimpun dirinya pada sebuah jaringan Bidikmisi dapat terealisasi dengan segera. Wadah jejaring para lulusan diharapkan menjadi silang kesinambungan yang terus tersambung dari proses Bidikmisi pasca mahasiswa.

Jika dengan sungguh-sungguh, jejaring alumni Bidikmisi akan menjadi pembuktian dua hal sekaligus yakni kenyataan bahwa kualitas Bidikmisi memang lebih dari lainnya, dan kenyataan lain bahwa mahasiswa Bidikmisi punya darah juang konsisten untuk tidak lupa —bahwa mereka dibantu dengan uang rakyat dan akan kembali mengabdi memperjuangkan rakyat.

Semoga semboyan itu tidak terlupakan oleh para lulusan peraih beasiswa Bidikmisi! (*)

 

Editor: Bambang BES

Berita Terkait

Ema Marantika

Ema Marantika

Penulis adalah mahasiswa Bidikmisi FISIP UNAIR, salah satu penulis buku “Menjemput Senja” (karya mahasiswa Bidikmisi Universitas Airlangga), Finalis lomba kewirausahaan (National Business Challenge di UNY, 2015 dan PMW dari PPKK Universitas Airlangga 2016).