Opera Meja Kerja

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi
Ilustrasi id.aliexpress.com

UNAIR NEWS – Derit pintu tetangga memecah hening. Sialan. Tidurku terganggu. Siapa pula manusia yang tak tahu aturan itu?

Tikus-tikus berlarian di loteng menambah gemuruh kesenyapan malam. Suara berkeletak-keletuk dari rumah sebelah menyumbang kemeriahan. Pasti itu Si Penulis amatiran yang bermimpi jadi jutawan. Sayang, dia tak pernah membaca. Kerjanya hanya mengeluh sana-sini bila tulisannya ditolak penerbit. Dasar pemalas besar. Bagaimana ia bisa menulis dengan baik kalau tidak pernah membaca?

Tuanku sedang pergi entah kemana. Kapan akan kembali aku tak tahu. Hanya satu dua nyamuk yang masih berkeliaran. Mereka menemaniku dalam koor yang begitu sumbang. Sudahlah, bangsa nyamuk datang untuk mengurangi jumlah manusia. Khususnya manusia-manusia yang merasa berguna, tapi nyatanya hanya menjadi beban dunia.

Lihatlah apa yang terjadi diluar sana! Kudengar langkah-langkah berat dan terseret di depan rumah. Pasti itu si Kuncung, tetangga depan rumah. Aku yakin pula, yang membuka pintu tadi adalah emaknya. Oh, maafkan kelancanganku menyebutmu sial, Mak Edah.

Si Kuncung adalah pekerja harian di proyek pembangunan sebuah mall. Kata tuan, mall itu digadang-gadang akan menjadi yang terbesar di kota ini. Aku tidak bisa membayangkan seberapa besar gedung itu.

“Ya Allah, kamu jam segini baru pulang. Bau apa ini? Kamu minum lagi?” Mak Edah, berdiri di ambang pintu mengelus dada.

“He, nggak usah ikut campur. Sana minggir!” Kuncung mendorong Mak Edah hingga terjengkang.

Keterlaluan si Kuncung. Ah, aku harus menolong Mak Edah. Tapi bagaimana caranya. Aku tidak bisa menolongnya. Ya Tuhan, tolonglah. Aku merasa sangat berdosa karena tidak bisa menolong wanita tua itu. Ibu si Kuncung yang begitu baik dan sabar. Kuwalat kau Kuncung! Maaf karena sumpah serapahku. Aku tak tega melihat Mak Edah. Tapi aku bisa apa? Ya Tuhan, untuk sekali ini saja, aku ingin berlari menolongnya.

Tangisku pecah juga pada akhirnya. Aku tak sadar berapa lama aku menangis hingga tak sadarkan diri.Yang aku ingat, begitu terbangun sinar matahari sudah memenuhi ruang kerja Tuanku.

Rumah besar dua lantai ini kembali menelan riuhnya kejadian semalam. Tergantikan suara ribut yang lain. Tuanku yang bermata sendu sudah datang. Ah, apa tuanku semalam tidak tidur? Wajahnya kusut dan lingkaran hitam menggantung dibawah matanya.

“Kemana kamu semalam, Pak?” Tuan yang satunya bertanya dengan garang. Ah, selalu ingin menutup telinga disaat demikian.

“Banyak rekan seangkatan kuliah yang berkunjung ke kota tadi malam. Kami ngopi dan diskusi di pos ronda.”

“Diskusi apa? Kerja jadi camat aja sok diskusi.”

“Kita membahas masalah rakyat.”

“Masalah rakyat? Omong kosong!”

Tuankuberlalu tanpa meladen omelan bininya yang terus berkumandang. Ingin sekali aku berteriak. Hentikan pertengkaran kalian. Asal kalian tahu, semalam tetangga depan rumah teraniaya, apa kalian tak peduli?

Tuanku berdua itu sama saja. Sama tidak warasnya. Yang satu menjadi camat karena modal ludah tajam yang menyembur kemana-mana. Berdiri di barisan paling depan dan berteriak lantang mengenai kesejahteraan rakyat. Namun, apa tindakan nyatanya? Sebelum pemilu ia bersabda, “Aku akan sejahterakan seluruh rakyat. Amanah rakyat akan aku perjuangkan”. Selepas pemilu ia lupa diri. Barang rumah tangga habis dilalap monster koar-koar, kampanye gelap. Jadilah diri rugi menanggung hutang. Balik modal jadi tujuan, amanah rakyat terabaikan. Tak beda jauh memang dua tuan itu. Apa kata Tuan satunya dulu, menjadi pengayom wanita? Bah, wanita-wanita daerah ini masih saja menjadi buruh di negerinya sendiri. Aku kembali sedih teringat tetangga depan rumah. Betapa para pemakai seragam menelantarkan keduanya.

Tuan satunya melempar selembar kertas pada suaminya. Pasti tagihan hutang. Belanjanya banyak tak keruan tiap hari. Tuanku menggebrak meja. Menggeser tangan besarnya ke kanan dan kiri. Tuhan, tangan penguasa.

Beku merambat ke arahku. Ragaku berdentum pada dingin yang menggigit. Aku menggelepar mengikuti arus landai.Sekian detik. Ah, Tuhan Maha Adil. Aku terpejam sesaat setelah teriakan Tuan satunya.

“Bapak! Ya Tuhan! Tolong! Noni! Bapakmu pingsan terpeleset tinta.”

(*)

Berita Terkait

Dewi Septiyaningsih

Dewi Septiyaningsih

Mahasiswi Sastra Indonesia 2015, Universitas Airlangga