Piramida Warna Part III

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi id.aliexpress.com
Ilustrasi id.aliexpress.com

UNAIR NEWS – Dari seorang teman. Katanya tadi malam ada sebuah kecelakaan, korbannya salah satunya adalah adik kos kita dulu. Memang segalanya tidak bisa diprediksi. Waktu memutar tanpa perlu seorangpun mampu mengaturnya.

Katamu : “Senatiasalah dalam kewaspadaan penuh, dimanapun juga dan dalam situasi apapun juga”.

Kemudian kau abadikan nasihat biimplikasimu “Tiada jaminan dalam kewaspadaan dan akan lebih tidak terjamin jika tidak waspada”

Di konteks cerita yang lain, mungkin aku juga perlu memberimu kabar yang bertolak belakang dari cerita di awal.

Kali ini kabar itu datangnya dari salah seorang anak binaan kita dulu, Ardi namanya. Petikan pesannya bunyinya begini

“Orang miskin boleh kuliah, Kak !” itu isi pesan pertamanya.

Penasaran, kubalas tanya : “Siapa orangnya ?”

Emoticon balasannya, menandakan dia sedang senang sekali. Dan dilanjutkan “Alhamdulillah lolos Bidikmisi di SNMPTN kak.”

Ia girang gemilang dan katanya kali pertama yang dikabari adalah aku.

“Terimakasih doa dan motivasinya selama ini kak. Salam untuk yang lainnya. Aku kagen !”

Memang kebahagiaan terbelah di beberapa kesempatan dengan kabar lainnya yang mungkin tidak pula membahagiakan.

Kalau kamu ingat, salah seorang teman kita dulu punya nasib yang agak mirip dengan Ardi. Sama-sama dalam ekonomi sederhana, dan akhirnya kuliah lewat beasiswa pula. Kau tahu sendirikan betapa tentangan keluarga sempat merintanginya.

Ia sangat sulit meyakinkan ayahnya, dan Ibunyapun tak sanggup membujuk ayahnya yang keras itu.

Dengan serba ketiadaan kita patungan menampungnya sementara hingga beasiswanya turun. Hanya tekad kuat dan kerja keraslah akhirnya dia kita akui sebagai orang yang sukses melawan hal tersulit yang merintanginya. Bahkan keberuntungan memperjuangkan beasiswa itu juga harus disertai haru biru, tangis dan bentakan dengan orang tua pula.

Bapaknya yang dulu sangat kaku itu, akhirnya justru kini cukup akrab denganku. Mungkin merasa telah banyak bersalah, menarik-narik diriku sebagai provokator agar anaknya kuliah. Dan kalau sedang pulang, aku seolah diperlakukannya seperti anak sendiri ketika mampir di rumahnya.

Kata Bapakku : “Orang tua itu yang diinginkan anaknya hidup enak, meski jauh dari rumah, yang penting punya jaminan hidup. Hati kita sudah senang.”

Sangat sederhana kadang, dana lam pikiran orang tua itu tidak bisa dipahami secara sempit. Bapak teman kita itu toh menunjukkan bahwa dirinya ternyata salah perhitungan. Watak, memang watak, kaku dan keras adalah cara mendidik.

“Aku tak pernah sakit hati pada siapapun juga. Toh tiada untung bermusuhan itu”  ujar teman kita dulu di saat awal kita menampungnya.

Provokasipun tidak mempan membuat dia berpaling dari Bapaknya.

“Bapakku memang begitu, sudah kuhafal sejak dulu. Aku besar karenanya, aku tak pernah merasa dia menjatuhkanku, sekalipun.”

Bakti teman kita itu pada orang tuanya tak bisa diragukan. Dan ini adalah penggalan pengait, bahwa janji persahabatan kita juga tak akan pudar oleh berbagai kondisi apapun. Pertahanan utama itu memang rasa yakin tentang komitmen saling menjaga dalam kebaikan.

Penulis: Sukartono

Berita Terkait

Sukartono

Sukartono

Mahasiswa Program Studi Matematika Fakultas Sains dan Teknologi Angkatan 2012