Antara Imam Syafii dan Kumpulan Cerita Pendek “Merantau”

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi Merantau Alifian Sukma
Ilustrasi Merantau Alifian Sukma

Salah satu idola saya, yang namanya nyaris tiap hari didengung-dengungkan di Pondok Pesantren Gontor adalah Imam Syafii. Dia membuat puisi yang mahsyur. Yang di Indonesia, setelah melalui proses penerjemahan, kerap diberi judul Merantau.

Imam Syafii, yang jalan pikirannya dipegang sepenuh hati oleh mayoritas muslim Indonesia, dan kemudian populer dengan istilah Mahzab (aliran) Syafii, selalu menjadi inspirasi para santri. Semua ucapannya terukur, tidak sembarangan. Termasuk, omongannya dalam puisi tersebut. Esensi sajak yang terangkum pula pada kitab Diwan Asy Syafii itu, selalu diingat para santri, yang mengagumi Imam Syafii, sampai ke darah-darah kami.

Terjemahan bebas puisi tersebut di bawah ini, saya kutip dari alumnus Gontor Ahmad Fuadi dari novel monumentalnya, Negeri Lima Menara:

Merantaulah …

Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman

Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang

Merantaulah …

Kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan

Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang.

Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan

Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, kan keruh menggenang

Singa jika tak tinggalkan sarang tak akan dapat mangsa

Anak panah jika tidak tinggalkan busur tak akan kena sasaran

Jika matahari di orbitnya tidak bergerak dan terus diam, tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang

Bijih emas bagaikan tanah biasa sebelum digali dari tambang

Kayu gaharu  tak ubahnya seperti kayu biasa Jika didalam hutan

Berbeda

Puisi itulah yang ada di pikiran saya ketika melihat kumpulan cerita pendek Rio F. Rachman dengan titel Merantau. Rio, sapaan akrabnya, kebetulan memang fans berat Mahzab Syafii. Dalam kumpulan puisinya yang terbit tahun lalu, Balada Pencatat Kitab, dia bahkan mengutip salah satu kisah terkenal tentang Imam Syafii. Kisah itu dimampatkannya dalam puisi berjudul “Guru”.

Dalam Balada Pencatat Kitab, hanya “Guru” yang memakan halaman sampai dua: yang lainnya satu belaka. Artinya, ada yang istimewa dari puisi itu. Kisah Imam Syafii yang disarankan gurunya merantau ke negeri lain untuk menuntut ilmu. Kenapa? Karena sang guru mengaku bahwa ilmunya telah habis untuk diturunkan pada lelaki bernama kecil Idris tersebut.

Meski demikian, kumpulan cerita pendek Merantau tentu berbeda. Di dalamnya, tak hanya soal merantau. Bahkan, di cerita pendek berjudul “Merantau”, alasan yang dipakai tokoh utama bukanlah menuntut ilmu layaknya Imam Syafii. Melainkan, bersandar pada dalih mencari sesuap nasi alias mencari pekerjaan yang layak. Persoalan keluarga yang rumit membuat tokoh utama merasa perlu meninggalkan tanah air. Pergi ke Arab untuk memburu riyal.

Problematik

Cerita-cerita di kumpulan ini banyak yang problematik. Seingat saya, tidak ada yang happy ending. Bahkan “Membunuh Anjing” yang memiliki ending win-win solution antara tokoh utama dan ibunya pun, didahului dengan kisah-kisah sedih. Berakhir pun tidak dengan sepenuhnya membahagiakan. Tokoh utama “mendapatkan” Ibunya kembali, tapi anjingnya tetap mampus.

Pada kisah romantis pun, alurnya dibuat pilu. Ada yang tentang poligami, putus asa dalam asmara, hingga kasih tak sampai. Ada satu cerita berjudul “Kunang di Atas Lautan” yang tidak mengandung kesedihan. Tapi pun, tak pula berisi kesenangan.

Secara umum, kisah-kisah di dalamnya mengingatkan saya pada novel O karya Eka Kurniawan. Di dalamnya, full kisah tragis dan ironis. Ada sih, kisah cinta yang mengembalikan dua insan yang di masa lampau pernah kasmaran. Namun, mereka dipertemukan saat yang lelaki sudah buta, dan yang perempuan telah gendeng. Tak diceritakan, apakah perempuan gila itu jadi waras saat bertemu kekasihnya, atau tidak. Yang jelas, mereka kembali bersama saat telah lama terpisah.

Merantau berisi 19 cerita pendek. Pada event LPDP EduFair di gedung Airlangga Convention Center Selasa lalu (2/2), salah satu copy buku dibagikan pada pengunjung sebagai “perkenalan” pada karya yang diterbitkan oleh Penerbit Suroboyo dan berisi 130 halaman tersebut. Kebetulan, Rio menjadi pembicara pada sesi Awardee Story, karena dia memang pernah menerima beasiswa tersebut.

Berita Terkait

Dilan Salsabila

Dilan Salsabila

Reporter, Fotografer, dan Staf Multimedia News Room UNAIR. Mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP.