Menanamkan Rasa Bangga Sebagai Mahasiswa Terhadap Almamater

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi : Alifian Sukma

SEBELUM akhirnya menapakkan jejak-jejak perjuangan sebagai mahasiswa berjaket biru dongker berlambang Garuda Wisnu Kencana di bagian dada sebelah kiri, almamater berwarna apa yang engkau impikan, kawan?

Apakah warna kuning yang begitu gagah dengan lambang makara? Atau mungkin warna hijau berlambangkan ganesha? Dengan fakta bahwa hampir semua program studi di Universitas Airlangga (UNAIR) telah terakreditasi A, tidak heran jika banyak yang menjawab bahwa UNAIR merupakan pilihan pertamanya. Jadi, menjadi bagian dari UNAIR adalah suatu kebanggaan. Namun ada juga yang sebenarnya memimpikan universitas yang peringkat nasionalnya di atas UNAIR. Artinya UNAIR dijadikan opsi kedua, bahkan ketiga.

Angan-angan indah untuk bisa menjadi mahasiswa di ibu kota negara, di “kota hujan” Bogor, di kota “gudeg” Jogyakarta, atau di “kota kembang” Bandung; sekedar ingin tahu bagaimana rasanya menjadi mahasiswa di universitas nomor satu di Indonesia? Tentu ada yang tertanam sampai ke hati.

Sebagian dari kita merasa bahwa melupakan mimpi indah itu bukanlah hal mudah. Padatnya kegiatan sebagai mahasiswa, diakui atau tidak, dapat mengalihkan perhatian tersebut, dengan seolah-olah telah dapat menikmati kehidupan di kampus pilihan kita. Tetapi sebenarnya, “dendam” itu masih ada dan termanifestasikan dalam bentuk rendahnya perasaan bangga dan kesadaran bahwa kita merupakan bagian dari UNAIR.

Bangga dalam konteks ini bukanlah kesombongan, tetapi bangga yang mengarah pada perasaan ikut memiliki dan merasa bagian dari kelompok, atau yang oleh McMillan dalam teori Sense of Community-nya disebut sebagai spirit atau membership. Kebanggaan itu dapat mengantarkan kita menjadi mahasiswa yang bersemangat untuk bergiat diri guna mengangkat nama baik universitas di kancah regional hingga internasional. Meskipun ada universitas yang pada aspek-aspek tertentu lebih baik dari UNAIR, tetapi kita harus menerima kekurangan dan kelebihan yang ada sebagai hal yang harus diperbaiki dan ditingkatkan bersama.

Berikut ini beberapa cara dan alasan mengapa kita harus bangga menjadi mahasiswa UNAIR?

Pertama: Mari membuka mata dan bersyukur! Harus diakui UNAIR belum menjadi yang pertama di Indonesia, namun kita sudah bertekad bulat untuk menuju kesana. Selain itu, kita sadar bahwa sebenarnya banyak universitas lain yang masih berjuang untuk setidaknya sejajar dengan UNAIR.

Ketika fasilitas fisik seperti ruangan kelas yang nyaman, perpustakaan dengan koleksi buku dan jurnal yang lengkap, bahkan bus kampus sudah kita miliki, di tempat lain tak sedikit mahasiswanya harus bersabar atas proses belajar-mengajarnya yang tak senyaman disini akibat ruangan kelas dan tenaga pengajarnya yang kurang memadai. Lalu bagaimana mungkin kita yang telah diberi kekuatan untuk menembus persaingan yang sangat ketat, kemudian memiliki banyak fasilitas ini tidak bersyukur dan terus merasa kurang?

Kedua, menjadi perwakilan UNAIR dalam berbagai acara (sesuai passion masing-masing). Lyntar Ghendis, mahasiswi Fakultas Keperawatan mengaku bahwa terhadap almamater sebelumnya biasa-biasa saja. Namun begitu ia menjadi salah satu wakil UNAIR di arena bergengsi PIMNAS, tiba-tiba tumbuh rasa cintanya yang sangat terhadap UNAIR. Dengan menjadi perwakilan, maka akan muncul keinginan kuat dalam diri kita untuk membela dan memberikan yang terbaik kepada almamater. Bukankah ini motivasi sangat baik untuk kita menjadi mahasiswa yang berprestasi?

Ketiga, menyadari bahwa mengeluh justru akan merugikan diri sendiri. Alkisah sekitar 27 tahun silam, ada seorang mahasiswa yang kuliah di sebuah universitas di kota kecil. Banyak yang tak tahu bahwa ada universitas itu. Kalau pun tahu, banyak yang memandang dengan sebelah mata. Namun mahasiswa ini tak menganggap hal tersebut sebagai persoalan.

Ia memilih menjadi mahasiswa yang bersyukur dengan cara menikmati setiap tugas kuliah, bahkan ia dipercaya menjadi ketua dari beberapa organisasi mahasiswa. Akhirnya, ia pun memetik hasil dari usahanya. Ketika lulus kuliah kini ia sukses bekerja di salah satu BUMN. Lalu akankah sama dengan seseorang yang terus mengeluh sehingga lupa bahwa selalu ada hal baik dalam setiap keterbatasan? Terkadang ini yang banyak dilupakan.

Akhirnya, di atas langit itu masih ada langit. Sekalipun jika kita menjadi mahasiswa universitas nomor satu, pasti akan ada satu-dua aspek dimana universitas lain lebih unggul. Maka banggalah dan bersyukurlah pada pilihan. Lantas mengapa kita tidak memilih untuk menjadi mahasiswa yang bahagia dengan mensyukuri dan mencintai apa yang telah Tuhan berikan kepada kita, untuk kemudian mengisi dan melengkapi kekurangannya? Nah, mari kawanku. (*)

Editor: Bambang Bes

Berita Terkait

FatinPhilia

FatinPhilia

Penulis adalah mahasiswa Fakultas Psikologi UNAIR angkatan 2014. Naskah ini aplikatif sesuai yang dialami, bahwa sebelum akhirnya bangga menjadi mahasiswa UNAIR, ia pernah berjuang melalui SNMPTN, SBMPTN, dan Ujian Mandiri untuk bisa menjadi mahasiswa fakultas psikologi sebuah PTN terkenal.