UNAIR NEWS –HRLS (Human Right Law Studies) Fakultas Hukum UNAIR mengadakan diskusi mengenai kasus kekerasan terhadap perempuan dalam kondisi difabilitas di Indonesia. Kali ini, Selasa (23/8), diskusi yang dihadiri oleh beberapa ahli dari konsen hukum yang berbeda tersebut membahas kasus Maria Ulfa, perempuan dengan keterbelakangan mental yang disetubuhi hingga hamil.
Beberapa yang hadir diantaranya Dr. R. Herlambang Perdana Wiratraman, S.H., M.A. selaku Ketua HRLS, Haidar Adam, S.H., LL.M. dengan latar belakang Hukum Konstitusi, serta Sapta Aprilianto, S.H., M.H. dari Departemen Hukum Pidana. Diskusi tersebut juga dihadiri oleh PUSBAKUM Mojokerto beserta staff legal. Kedatangan mereka dimaksudkan untuk mencari upaya perlindungan hukum bagi korban.
Dalam diskusi tersebut, Adi Yosef selaku ketua PUSBAKUM menjelaskan awal terjadinya kasus hingga penanganan yang tak kunjung selesai. Adi merasa bahwa polisi tidak benar-benar mengusut kasus ini. Hal ini membuat Adi ingin melakukan upaya perlindungan hukum berdasarkan pendapat dari para akademisi FH UNAIR.
“Tidak ada tindak lanjut, tetapi polisi datang ke TKP. Aduan pertama bulan September. Berkas dikembalikan karena dianggap belum lengkap. Apabila kasus ini tidak bisa diputus, maka dapat dikatakan bahwa anak keterbelakangan mental tidak punya perlindungan hukum,” tegasnya.
Adi membawa kasus ini dengan menjerat pelaku menggunakan Pasal 286 KUHP. Tetapi menurut saksi ahli, Pasal 286 KUHP tidak dibenarkan untuk menjerat pelaku. “Pelaku memang melakukan perbuatan melawan hukum. Tetapi Pasal 286 KUHP tidak memenuhi unsur karena, pertama, Maria Ulfa tidak dikatakan tidak berdaya, kedua, Maria Ulfa setuju untuk melakukan,” ungkap saksi ahli.
Perbedaan pendapat tersebut membuat Adi bertanya-tanya. Dari sisi mana Maria ulfa dikatakan tidak berdaya. “Di dalam pasal 286 KUHP kan tidak dijelaskan tidak berdaya, itu hanya secara fisik. Jika seperti itu, berarti tidak berdaya secara psikis juga termasuk dong. Karena posisinya disini korban adalah difabel, jadi dia tidak tahu apa dampak dari perbuatannya. Oleh karena itu korban menyetujui,” sambung Adi.
Sampai saat ini, kasus masih berlanjut, dan sidang masih belum dijadwalkan. Hal ini membuat para dosen ahli FH UNAIR berpendapat kalau kasus ini harus sampai dulu ke Kejaksaan. “Targetnya sampai ke pengadilan dulu, karena pengadilan kan terbuka untuk umum. Sehingga nanti bisa dilihat dan kasus lebih terbuka,” tandas Sapta.
Diskusi kemudian diakhiri dengan kesepakatan bersama, yakni dalam kasus ini, HRLS benar-benar ingin mengawal kasus tersebut. Cara pertama yang ditempuh adalah dengan mengirim surat tembusan ke Kejaksaan, agar Kejaksaan lebih memerhatikan kasus tersebut. (*)
Penulis : Pradita Desyanti
Editor : Dilan Salsabila