Terbuailah Ripah

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi Kopel-online.or.id

Ripah gempar. Kasak-kusuk yang beredar, Presiden akan datang ke Ripah bertepatan dengan pembukaan musim tanam sepekan lagi. Jarang-jarang ada orang besar dari Jakarta mengunjungi Ripah, apalagi ini orang nomor satu di Republik. Ripah jauh dari pusat negara, jumlah penduduknya pun tidak besar. Kalaulah sekarang ada orang besar datang ke Ripah, pastilah orang yang datang itu orang yang tulus hati dan tidak peduli dengan berapa banyak suara yang akan ia dapat di pemilu nanti. Begitu pikir banyak orang Ripah.  Salah satunya adalah Manjo.

Prisiden datang ke Ripah, di Lapangan Pasir Himpit. Bapidato dia di sana ahad, Mak..,” semangat betul Manjo bercerita pada Mak Husin.

Prisiden apa, Jo?” sela Mak Husin.

“Eeeh Mak, yang sering kita itu lihat ada di tipi. Kabarnya, bagi-bagi dia traktor ke kita orang Ripah. Jadi bisa pensiunkan itu Arong dan Aring dari bajak Mak punya sawah,” Manjo menggebu.

“Panas Kau Jo, berapapun Prisiden itu kasih krator, Arong Aring tidak akan pensiun,” ujar Mak Husin belepotan. Manjo menggerutu, menjual kerbau hari-hari ini harganya mahal tapi apa daya dirinya jikalau Mak Husin sudah paten dengan kerbau-kerbaunya.

 ***

Ahad, Lapangan Pasir Himpit dipadati manusia. Banyak polisi dan laki-laki tegap berbaju hitam siaga berjaga. Presiden akan meyampaikan sepatah dua patah kata menyambut musim tanam yang baru di Ripah. Kabar bahwa Presiden akan membagikan traktor-traktor kepada orang Ripah ternyata juga bukan isapan jempol. Sejak dua hari lalu, ratusan traktor merah sudah berjajar rapi di sepanjang jalan Ripah. Sejak hari itu pula, perdagangan kerbau di Ongen, pusat niaga hewan ternak mulai meningkat dari biasanya. Banyak orang Ripah mulai ancang-ancang menjual kerbau-kerbaunya. Beberapa sudah benar-benar menjual kerbau-kerbaunya. Mumpung harga masih mahal, jika nanti banyak yang berbondong-bondong menjual harga pasti akan perlahan turun. Begitu pikir mereka.

Sorak-sorai menyeruak ketika rombongan Presiden tiba. Nama Presiden dielu-elukan oleh mereka yang memadati Lapangan Pasir Himpit. Banyak yang ingin mendekat ke podium utama, melihat wajah presidennya dari jarak dekat. Apalah daya, pasrahlah ketika barisan berbadan tegap dengan seragam hitam-hitamnya sudah menghadang.

Manjo yang begitu antusias dengan kedatangan Presiden dari awal justru telat bangun. Ia pulang lewat tengah malam setelah membantu Mak Saleh, pamannya yang lain yang tidak lain adalah adik dari Mak Husin untuk mempersiapkan sawah yang akan digunakan Presiden untuk penanaman benih Padi secara simbolis hari ini.

“Waaaaah, Mak tidak bangunkan saya awal-awal, telat Maaak lihat Presiden bapidato,” ujar Manjo panik sambil bersiap-siap seadanya.

Mak Husin yang sedari awal memang tidak begitu antusias nampak cuek dan tersenyum kecut memperhatikan Manjo yang sedang kalang kabut.

Mak ini memang tak peka, aih…,” ujar Manjo sambil menggerutu.

Mak tak dengar kata-kata aku dulu. Traktor sudah lihat, datang sudah itu. Elok bukan? Kapan hari Mak Saleh sudah jual dia punya kerbau, masih mahal waktu itu. Sekarang, kalo Mak pengen itu traktor dan jual Arong dan Aring, sudah murah itu. Menyesal Mak sekarang…”, ujar Manjo meninggalkan Mak Husin menuju Lapangan Pasir Himpit.

“Siapa mau krator…,” Mak Husin tersenyum sinis.

***

Traktor-traktor secara simbolis sudah diserahkan ke Bupati untuk dibagi ke penduduk Ripah. Dengan sepatu booth Presiden turun ke sawah menanam benih padi sebagai pertanda dimulainya musim tanam di Ripah. Kilatan kamera mengabadikan momen-momen merakyat Presiden di Ripah.

Ripah kembali sunyi setelah Presiden dan rombongannya pergi. Traktor-traktor yang akan dibagi masih berderet di jalanan Ripah, di sampingnya terdapat truk-truk yang beberapa hari lalu membawa traktor-traktor itu ke Ripah.

“Kapan ini dibagi, Njo..,” tanya Mak Saleh pada Manjo. Manjo menggeleng sambil meminta pamannya sabar.

Menjelang sore, traktor-traktor itu diangkut kembali oleh truk-truk. Instruksi Dinas Pertanian, katanya. Sontak banyak orang Ripah yang sudah berharap kecewa bukan kepalang.

“Apa-apaan Njo, kerbauku sudah kau jual. Tak dapat aku traktor gratis,” Mak Saleh sedikit murka. Raut muka Manjo pucat pasi.

“Makanya Njo Leh, sabarlah sekejap. Tak usah tergesa. Makmu ini tak buta politik, lebih banyak ingkar dari tepatnya.” Mak Husin tersenyum menang. (*)

Berita Terkait

Yeano Dwi Andika

Yeano Dwi Andika