MAYA

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi UNAIR NEWS

Malam itu kamu datang, merangkak dari kegelapan menghampiriku. Untuk pertama kalinya kamu memperkenalkan diri padaku, namun kamu belum mau menyebutkan nama. Di antara bunyi jejeritan Mama dan teriakan pria yang memintaku memanggilnya Papa, kamu menemaniku, memelukku, dan berbisik semua akan baik-baik saja. Aku mengangguk patuh. Dalam pelukanmu yang hangat, suara-suara pertengkaran di kamar sebelah mulai samar di kupingku. Entah berapa lama suara-suara berisik itu berlangsung. Mulai dari kaca yang dipecahkan, keramik yang dibanting, meja yang digulingkan, sampai teriakan melengking perempuan.

Kamu berkata padaku untuk tetap tenang. Kamu bilang suara-suara itu semacam kidung pengantar tidur. Makin lama suara seperti itu makin terdengar biasa di kupingku. Di antara bunyi-bunyi riuh di ruang sebelah dan keremangan kamarku, kamu menggandengku, mengajakku beranjak dari kasur. Tunduk patuh, hanya itu yang bisa kulakukan. Aku ikuti kemauanmu, melenggang menguntitmu, membiarkan tanganmu menggandeng tanganku dan kamu berbisik segalanya akan baik-baik saja. Mulai saat ini segalanya akan membaik, begitu janjimu.

Kita berhenti di tempat keriuhan. Aku lihat pria itu menempeleng Mama sampai terjerembab di atas kasur. Namaku disebut-sebut lagi. Telunjuknya teracung di depan wajah Mama dengan mata nanar dan wajah memerah seolah darah mendidih dalam tubuhnya.

“Harusnya kau bersyukur aku bersedia mengawini pelacur sepertimu!”

Mama menengadah. Matanya berkaca-kaca. Barangkali ia masih belum bisa menerima perlakuan pria itu yang berbeda dari awal pertemuan mereka.

“Aku tak memaksamu mengawiniku! Kau yang merajuk dan merayu, berkata mau menerima aku apa adanya, termasuk menerima keberadaan anakku!”

“Kalau aku tahu bapakmu bisa bangkrut dan kere seperti sekarang, mana sudi!”

Aku diam. Menggigil. Bergeming dalam ketidaktahuanku tentang persoalan yang mereka hadapi. Usiaku baru sembilan tahun. Cukup belia sekadar memahami permasalahan orang dewasa. Kamu berlari kesetanan menghampiri pria itu, namun aku tetap bergeming. Pecahan beling dari cermin rias yang berserakan di lantai menjadi sorot utamamu. Dengan nanar dan liar kamu memungut salah satu pecahan itu, menggenggam hingga telapak tanganmu mengucurkan darah. Aku terus bergeming dan menggigil. Kakiku seperti terbelenggu tak dapat berpindah. Tanpa sepatah kata, kamu dengar makian pria itu menyebutmu anak pelacur, anak haram, anak setan, dan kamu berhasil membungkam mulutnya begitu beling yang berada di genggamanmu menancap pada dadanya. Tanpa ampun, kamu mengulang hal serupa. Terus begitu sampai terdengar suara rintihan dan dengking kesakitan pria itu, mirip anjing. Kamu seakan menampakkan rasa sakitmu padanya, juga padaku, hingga aku bisa merasakannya sampai di tulang-tulangku yang dingin.

Mama memelukku kemudian, menyentakku dari kesadaran. Aku rasai gigilan, dingin merajam tubuhku yang berkeringat, dan sesuatu berbau anyir meleleh di telapak tanganku. Suasana hening, hanya kudengar isak tangis Mama, gemelatuk gigiku, dan desis angin menerpa kelambu kamar.

Beberapa waktu kemudian suara sirine mengesampingkan kesenyapan. Saat itu aku sudah dimandikan Mama. Tengah malam ia menyisir rambutku dan mengganti pakaianku hingga aroma esensial mawar meruap di penciumanku. Dan saat itu segerombolan polisi mengaitkan borgol di tangan Mama, membawa wanita itu pergi dari hadapanku. Pria yang pernah memintaku memanggilnya Papa dibaringkan di atas bangkar dengan selimut putih bebercak darah. Ia dibawa menuju ambulan. Kulihat kepergian Mama yang dikawal polisi tanpa kata. Ia tersenyum dan melambai padaku, melayangkan ciuman jauh dan berkata melalui bibirnya yang bergerak-gerak membentuk kalimat “Kamu akan baik-baik saja”.

Di belakangku, kamu memelukku lagi. Berbisik di kupingku,

“Ya, kamu akan baik-baik saja. Kita baik-baik saja.”(*)

Berita Terkait

Lovita Cendana

Lovita Cendana

Mahasiswa Sastra Indonesia 2012