Kemandirian Pangan dan Sejuta Permasalahannya

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
PETERNAKAN sapi pedaging lokal agar terus digalakkan. (Foto: sipendik.com)

Indonesia banyak disebut sebagai surga dunia. Negeri ini memiliki keagungan Sumber Daya Alam (SDA) melimpah. Hal tersebut bisa diamati dari beranekaragamnya flora dan fauna yang kita sebut sebagai keanekaragaman hayati.

Potensi alam yang melimpah tentu saja menjadi aset dan kekuatan potensial untuk mendongkrak Indonesia menjadi negara yang disegani dan maju. Sayangnya, apa yang terjadi pada negara ini sangat bertolak belakang dari harapan tersebut. Indonesia terpuruk dan masih berstatus sebagai negara berkembang dengan berbagai polemik yang tidak kunjung selesai. Salah satu masalah adalah kemandirian sektor pangan. Jumlah Sumber Daya Manusia (SDM) yang melimpah membuat krisis daya catu bahan pangan perlu serius diperhatikan.

Tuntutan masyarakat akan tersedianya makanan sehat, aman, namun tetap terjangkau, menjadikan produsen pangan menjadi panik. Sulitnya mencari bahan produksi, keterbatasan alat dan minimnya pengawasan dan standarisasi dari pemerintah menjadikan oknum produsen berani berbuat curang dengan mengelabuhi konsumen. Hal ini dilakukan dengan dalih agar mereka dapat bertahan dari gempuran produk impor yang datang membanjiri pasar.

Pemerintah melalui Dinas Kesehatan, Dinas Pertanian, Dinas Peternakan dan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) bersama-sama Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak mau jika hanya diam dan melihat polemik masalah pangan ini. Mereka peduli dan turut andil berperan serta dalam menjaga kesehatan masyarakat melalui edukasi yang gencar terkait persoalan makanan ASUH (Aman, Sehat, Utuh dan Halal), terlebih makanan yang tergolong protein hewani.

Hadirnya sistem ASUH digunakan untuk melindungi masyarakat agar tidak salah dalam mengonsumsi dan menghindarkan mereka dari makanan berbahaya yang berpotensi menyebabkan penyakit. Selain itu, sistem ASUH diterapkan sebagai media evaluasi dan kontrol pemerintah terhadap industri pangan. Manfaatnya meminimalkan segala bentuk kecurangan maupun pelanggaran.

Ditemukannya daging palsu, yaitu daging babi dalam perdagangan daging sapi, adanya campuran ayam tiren (mati kemarin) dalam perdagangan daging ayam, terdapatnya bahan pengawet dan kimia berbahaya dalam makanan, adalah contoh kecil problematika pangan hewani. Hal ini merupakan indikator kepanikan kalangan produsen dalam memenuhi standar ASUH yang ditetapkan untuk konsumen Indonesia.

Selain berbagai masalah yang telah disebutkan diatas, Indonesia juga mengalami kepelikan dalam hal ketersediaan stok bahan pangan domestik yang berkualitas. Hal tersebut diakibatkan pemakaian insektisida dan obat-obatan secara terus-menerus sehingga menimbulkan pemakaian bahan kimia pada hewan. Penyebab lain adalah optimalisasi rumah potong hewan dan unggas yang masih rendah dan manajemen peternakan yang kurang modern. Penanganan hewan berpotensi zoonosis yang kecil, kelangkaan sumber plasma nutfah dengan genetik yang baik, pengolahan limbah rumah potong hewan dan peternakan yang tidak efektif, sistem perekonomian dan pasar yang termonopoli, serta masih lemahnya fungsi pengawasan pangan yang terjamin oleh BPOM juga dituding sebagai penyebab. Selain itu, lemahnya daya beli masyarakat terhadap protein hewani, semisal daging sapi menjadi masalah tersendiri bagi masyarakat.

Kondisi yang kian merosot ini patut menjadi cermin sebagai bahan evaluasi bersama. Indonesia harus belajar dan berbenah dalam menghadapi permasalahan krisis pangan ini. Peternakan rakyat dengan teknologi dan manajeman modern, sinergisitas kuat antara peternak, swasta dan pemerintah harus dikembangkan. Selain itu edukasi yang gencar kepada masyarakat terkait pemilihan pangan ASUH dan penegakkan hukum dengan bijaksana, baik di pusat maupun di daerah harus diklakukan. Hal ini semata untuk meningkatkan kualitas dan daya saing produk dalam negeri.

Penerapan disiplin ilmu Kesehatan Masyarakat Veteriner melalui Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) dan Epidemiologi Veteriner saat ini perlu dipikirkan secara matang dan ditingkatkan implementasinya oleh pemerintah. Penerapan HACCP dan epidemiologi yang tepat akan membuat rantai regulasi bahan pangan asal hewan dan perekonomiannya mengalami kenaikan mutu, terjaga keamanannya dan mencegah peluang tindakan penyelewengan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab.

Demi mencapai hasil yang lebih besar, sinergitas antara Kementerian Pertanian, Puslitnak, Badan Ketahanan Pangan, MUI, Kementerian Kesehatan, Kementerian Industri dan Kementerian Kehutanan harus segera diwujudkan. Peran strategis setiap lembaga sesuai koridornya dengan kerja yang terintegrasi akan mewujudkan harapan masyarakat: yakni tercapainya kemandirian pangan di Indonesia.

Hal lain yang tidak kalah vital dalam menunjang terwujudnya kemandirian pangan di Indonesia adalah kualitas eksekutornya, yaitu pemuda. Keberadaan pemuda, terlebih mahasiswa dengan gelarnya sebagai kaum intelektual kritis dan generasi perubahan, mendapat peran besar dalam membantu memecahkan problematika pangan. Sudah selayaknya mahasiswa melalui karya dan kontribusinya kepada masyarakat memberikan bukti bahwa kualitas SDM di negeri ini tetap handal dan terus berkembang. Ayo generasi muda! (*)

Berita Terkait

Galih Kurnia Gusti Sutanto

Galih Kurnia Gusti Sutanto

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga, penerima beasiswa BRI dan PPSDMS Nurul Fikri, dan mantan Staf Kebijakan Publik BEM UNAIR 2014.