Krisis Perizinan sebagai Pemicu Bencana Banjir

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Foto: Ilustrasi kanalsatu.com

Musim penghujan yang mencapai puncaknya saat ini menyebabkan terjadinya bencana banjir di hampir seluruh wilayah Indonesia. Penyebutan banjir sebagai bencana seakan memberikan justifikasi bahwa banjir adalah kehendak dari Allah SWT atau biasa kita ucapkan sebagai takdir. Hal inilah yang harus dikaji ulang. Lantas, disadari dan dipahami. Bahwa banjir sejatinya merupakan akumulasi dari perbuatan manusia yang selalu merasa kurang. Misalnya, kurang memahami akibat membuang sampah di sungai, merasa kurang luas lahan sehingga menggunakan sempadan sungai sebagai bangunan, kurang lahan resapan air, kurang mengetahui adanya peraturan yang mengharuskan adanya perizinan dan dokumen lingkungan dalam pembangunan dan beraneka “kekurangan” lainnya.

Sebenarnya, hukum, peraturan perundang-undangan, dan keputusan yang telah dibuat pemerintah pusat maupun daerah, sudah banyak yang bisa menjadi instrumen pencegah pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan. Pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dinyatakan, instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup terdiri atas sejumlah elemen. Di antaranya, Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH), Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Baku Mutu Lingkungan (BML), AMDAL, UKL-UPL, perizinan, retribusi/pajak, peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan, analisa resiko lingkungan hidup dan instrument lainnya sesuai dengan kebutuhan.

RTRW merupakan perencanaan tata ruang kabupaten/kota yang disusun berdasarkan RPPLH sebagai dokumen perencanaan yang memuat potensi, masalah lingkungan hidup, serta upaya perlindungan dan pengelolaan dalam kurun waktu tertentu. Penjabaran RTRW ditetapkan dalam perda yang mengatur Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) dan peraturan zoning yang digunakan sebagai pedoman dalam mengatur pemanfaatan kawasan di suatu wilayah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dicantumkan bahwa Pemerintah daerah berwenang menyelenggarakan urusan wajib di bidang penataan ruang dan lingkungan hidup. Wewenang merupakan salah satu unsur keabsahan bagi pemerintah dan pemerintah daerah dalam melaksanakan tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan daerah, dimana ruang lingkup wewenang meliputi pengaturan, perizinan dan penegakan hukum.

Pandangan umum selalu menyatakan bahwa banjir yang terjadi rutin setiap tahun disebabkan oleh curah hujan tinggi. Lantas, mengakibatkan meluapnya sungai dan naiknya air laut. Pendapat ini seakan menutup pemikiran bahwa salah satu penyebab banjir yang cukup relevan adalah menyempit dan dangkalnya sungai. Serta, kurangnya resapan air akibat perkembangan pembangunan.

Daerah punya Perda tangkal banjir

Setiap daerah kabupaten/kota telah memiliki perda tentang RTRW, perda RDTRK, dan perda IMB. Di dalamnya terdapat norma perintah, larangan, izin dan dispensasi dimana setiap orang/badan yang akan memanfaatkan kawasan sebagai kawasan perumahan, perindustrian dan perdagangan diwajibkan memiliki izin yang mempersyaratkan adanya dokumen lingkungan sebagai acuan dalam melakukan pengelolaan dan pemantauan lingkungan (AMDAL/UKL-UPL).

Dalam praktek penyusunan AMDAL/UKL-UPL, dibutuhkan waktu dan biaya yang cukup mahal. Hal ini mendorong pemerintah daerah memberikan kemudahan berupa pemrosesan izin yang dibarengkan dengan penyusunan dokumen lingkungan tersebut. Kemudahan yang bertujuan untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif telah mengubah tujuan dan konsep perlunya dibuatnya dokumen lingkungan.

Pembuatan dokumen lingkungan merupakan analisis terhadap rencana kegiatan yang akan memberikan dampak terhadap lingkungan. Sehingga, keberadaan dokumen lingkungan merupakan pertimbangan diterbitkannya izin. Sesuai dengan dokumen lingkungan, maka pemegang izin wajib memenuhi kewajiban sebagaimana dijanjikan dalam AMDAL/UKL-UPL.

Dengan demikian, jika pemegang izin melanggar kewajiban tersebut, maka dapat dilakukan upaya penegakan hukum akibat pelanggaran izin. Apabila penyusunan AMDAL/UKL-UPL dibarengkan dengan pemrosesan izin, maka hal ini memberi peluang kewajiban pengelolaan dan pemantau lingkungan disusun secara umum dan penuangan dalam kewajiban pemegang izin juga sangat umum. Hal ini menimbulkan peluang terjadinya pelanggaran dan kesulitan bagi pengawasan dan penegakan hukum.

Kelemahan di bidang penegakkan hukum

Pengusaha harus mengeluarkan biaya yang sangat mahal untuk meminta bantuan seorang ahli dalam penyusunan dokumen lingkungan. Hal ini yang menjadi salah satu sebab kelemahan penyusunan dokumen lingkungan. Di sisi lain, dokumen lingkungan merupakan salah satu instrumen penting bagi pejabat pemberi izin. Guna menilai dan mempertimbangkan diterbitkannya izin serta kewajiban yang harus dipenuhi oleh pengusaha dalam menjalankan usaha agar tidak terjadi pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan.

Krisis kedua dalam kebijakan perizinan yang menyebabkan kelemahan tercapainya tujuan izin sebagai instrumen pencegahan adalah di bidang pengawasan. Wewenang pengawasan dan penegakan hukum merupakan wewenang yang berkaitan dengan wewenang pengaturan dan penerbitan izin. Namun, dengan adanya kebijakan pemerintah untuk kemudahan perizinan yang dilakukan oleh satu lembaga perizinan atau dikenal dengan PTSP (Pelayanan Terpadu Satu Pintu), penerbitan izin dilakukan oleh Badan Perizinan sedangkan pengawasan dan penegakan hukum dilakukan oleh SKPD teknis atau Polisi Pamong Praja.

Kebijakan PTSP satu sisi memberikan kemudahan bagi masyarakat atau pengusaha dalam memperoleh izin. Di sisi lain, kebijakan yang membagi kewenangan pengawasan dan penegakan hukum memberikan kelemahan, khususnya di bidang penegakan hukum.

Kelemahan pengawasan dan penegakan hukum yang dilakukan oleh instansi yang berbeda akan terjadi apabila instansi pengawas tidak memiliki data yang akurat atas izin-izin yang telah diterbitkan. Hal ini terjadi akibat tidak adanya harmonisasi dan koordinasi bagi penerbit izin untuk selalu memberikan tembusan kepada SKPD teknis dan Polisi Pamong Praja.

Lemahnya pengawasan dan penegakan hukum seakan memberi gambaran bahwa pemerintah daerah melakukan pembiaran dan hal ini dianggap bukan pelanggaran. Sehingga, masyarakat tidak memiliki rasa bersalah atas pelanggaran yang dilakukan. Juga, tidak ada sarana yang membuat masyarakat jera.

Beberapa pelanggaran yang dilakukan oleh pengembang perumahan yang belum membuat irigasi atau membuat bangunan yang lebih tinggi dari ketentuan sering lepas dari pengawasan pemerintah daerah. Hal ini akan diketahui setelah perumahan telah dihuni dan menyebabkan banjir bagi kawasan lain. Sehingga, bila dilakukan pengubahan akan terjadi benturan antara masyarakat penghuni dengan pemerintah daerah atau dengan penghuni lainnya. Kondisi ini menjadi faktor eksternal yang mempengaruhi lemahnya penegakan hukum. Khususnya, penegakan hukum administrasi.

Dalam pemanfaatan kawasan, perlu dilakukan edukasi kepada masyarakat bahwa keberadaan izin pemanfaatan, IMB dan dokumen lingkungan merupakan upaya legitimasi dan instrumen pencegahan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan. Bukan semata-mata alat bagi pemerintah daerah untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah. Selain itu, diperlukan adanya komitmen yang tinggi dari aparat pemerintah untuk mengikuti peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik dalam menerbitkan izin. Jika dalam menerbitkan izin tidak didasarkan pada kedua hal tersebut, maka berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, pejabat dapat diminta pertanggungjawaban dengan alasan terjadinya penyalahgunaan wewenang. (*)

Berita Terkait

Lilik Pudjiastuti

Lilik Pudjiastuti

Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga