Sekelumit Tentang Oposisi Biner Rakyat dan Pemimpin

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
oposisi
Foto: national.ca

Peter Northouse mendefinisikan kepemimpinan sebagai sebuah proses yang melibatkan seseorang mempengaruhi orang lain untuk memahami dan menyetujui tentang apa yang dibutuhkan dan bagaimana cara untuk memenuhinya.

Yang jelas, melalui definisi ini, dapat dipilah beberapa konsep mengenai kepemimpinan, antara lain: kepemimpinan adalah sebuah proses, kepemimpinan membutuhkan satu individual pemimpin, kepemimpinan melibatkan sekelompok individual lain yang dipimpin, dan kepemimpinan melibatkan sebuah tujuan bersama yang akan dituju.

Dalam perspektif sosiologis dan antropologis, kepemimpinan dalam masyarakat dibentuk melalui mekanisme dan model primus inter pares. Maksudnya, seseorang dikatakan sebagai pemimpin yang ideal karena kompetensi, garis genealogi, kekayaan, kekuatan dan kesempurnaan lahiriah/batiniah maupun karena usia, pengalaman, pendidikan, status dan otoritas sosial yang dimilikinya.

Tidak hanya itu, pemimpin harus diakui oleh masyarakat pengusungnya sebagai pemimpin utama dan menjadi pelaksana kepemimpinan dan kehidupan masyarakatnya (Suwirta dan Hermawan, 2012). Melalui perspektif ini, kepemimpinan dan pemimpin adalah sesuatu yang dibentuk dan membentuk masyarakat. Seseorang menjadi pemimpin dan berada dalam kepemimpinan karena ia dilahirkan sebagai pemimpin, seperti pada pemerintahan monarki dan otoriter, atau menjadi pemimpin karena pengalaman, kemampuan, usaha, atau proses yang membuatnya menjadi seorang pemimpin.

Sebagai sebuah negara, konsepsi kepemimpinan politik di Indonesia mengalami beberapa era terkait dengan sistem kemasyarakatan. Secara garis besar, Subiakto dan Ida (2014) membagi era tersebut ke dalam sejumlah sistem kemasyarakatan yaitu euforia kemerdekaan, berdaulat, demokrasi terpimpin, orde baru, dan reformasi.

The Great Man Theory

Dalam perspektif historiografi konvensional dikenal istilah the great men theory, dimana peristiwa-peristiwa penting dan perubahan sosial itu dalam banyak hal digerakkan oleh “orang-orang besar” (Sjamsuddin, 2007; dan Suwirta, 2012). Perspektif ini dapat dilekatkan pada unsur kebangsawanan atau priyayi dan ketokohan yang sangat melekat pada karakter pemimpin Indonesia.

Sebaliknya, konsep rakyat kerap diidentikkan sebagai orang-orang dari golongan marjinal (jelata), yaitu mereka yang hidup terpinggirkan seperti petani, buruh, dan karyawan kecil. Hal ini senada dengan tuturan Iqra Anugrah (2013) dalam tulisannya di jurnal Indoprogress; Rakyat Jelata, Sejarah dan Perjuangan. Dia menjelaskan bahwa kondisi oposisi biner antara pemimpin dan rakyat umum terjadi di Indonesia. Dia menuliskan,

“Sejarah dan politik bercerita tentang ‘orang-orang besar,’ yaitu para tokoh yang menggerakkan roda jaman dan perubahan, sedangkan rakyat jelata dan orang-orang biasa hanyalah catatan kaki, atau mungkin lebih parah lagi, referensi yang tak terpakai dalam proses penulisan sejarah,

Oposisi biner antara pemimpin dan rakyat dalam hal ini dapat kita cermati secara jelas dari bagaimana sosok pemimpin di Indonesia sangat erat dengan unsur-unsur kerajaan, terutama dengan kekeratonan Jawa, atau dengan unsur-unsur keturunan tokoh-tokoh besar di Indonesia.

Pemimpin di Indonesia kerap menggunakan faktor keturunan dari tokoh-tokoh besar, atau setidaknya berusaha menunjukkan kesamaan ide atau pemikiran dengan tokoh-tokoh tersebut sebagai sebuah penanda kesepahaman atau sekedar mengikuti popularitas tokoh tersebut di mata masyarakat. Contoh yang paling umum digunakan adalah penggunaan sosok Soekarno sebagai presiden pertama Indonesia dalam kampanye-kampanye politik di Indonesia. Soekarno seringkali dijadikan sebagai panutan dan sosok ideal bagi pemimpin-pemimpin di Indonesia.

Agus Sudibyo (2001) dalam bukunya yang berjudul Politik Media dan Pertarungan Wacana mengatakan bahwa sosok Soekarno kerap digambarkan sebagai simbol nasionalisme, tokoh yang populer dan berkharisma bagi rakyat dan internasional, serta tokoh yang memiliki kontribusi dalam sejarah perjuangan bangsa. Kualitas-kualitas yang melekat pada Soekarno tersebutlah yang seringkali dijadikan ajang “promosi” para pemimpin Indonesia., dan hal ini memberikan sebuah Gambaran bahwa pemimpin sering dicitrakan memiliki kualitas yaitu dikagumi, dicintai, dan berjasa bagi pihak lain, yang dalam hal ini adalah rakyat.

Marginalisasi Kelompok Bungkam

Rakyat atau kaum marjinal diidentifikasikan sebagai mereka yang berada pada posisi sebagai kelompok bungkam. Kelompok ini dikonsepkan oleh Edwin dan Shirley Ardener sebagai,

“Kelompok dengan kekuasaan yang lebih rendah seperti wanita, kaum miskin, dan orang kulit berwarna, yang harus belajar untuk bekerja dalam sistem komunikasi yang telah dikembangkan oleh kelompok dominan,”

Dengan konsepsi abstrak mengenai kelompok bungkam atau kelompok marjinal ini, maka ide atau konsep mengenai rakyat berkaitan dengan kedudukannya dibandingkan pemimpin menjadi jelas. Ia merupakan kelompok marjinal terpinggirkan yang mengikuti bagaimana sebuah sistem hierarki dan struktur sosial dibangun oleh kelompok dominan atau pemimpin.

Tidak hanya unsur kebangsawanan (elitisme) dan keterkaitan dengan seorang tokoh yang melekat pada figur sosok pemimpin, dalam usaha untuk meraih kekuasaan seringkali sosok pemimpin direpresentasikan melalui tradisi dan kepercayaan (budaya). Hal ini merupakan bagian dari perspektif historiografi tradisional dan secara lebih spesifik dikaitkan dengan unsur agama dan suku. Unsur agama yaitu Islam, dan suku Jawa tidak terbantahkan sangat dominan dimanfaatkan oleh pemimpin dan menjadi bagian dari corak kepemimpinan di Indonesia.

Oposisi biner yang dijelaskan di atas antara pemimpin dan rakyat merupakan sebuah bagian dari strukturisasi dalam masyarakat. Hal ini tercipta karena adanya wacana sosial (social discourse) tentang bagaimana sosok pemimpin itu dimaknai dalam sistem masyarakat. Pihak-pihak yang memiliki kepentingan dan kuasa, terutama atas media, mampu untuk membuat kode (code) yang melaluinya konsep pemimpin itu dikomunikasikan melalui pesan-pesan yang ada baik secara langsung (intended) maupun simbolik.

Berita Terkait

Juanta Sebayang

Juanta Sebayang

Mahasiswa Pasca Sarjana FISIP UNAIR. Sesekali mengajar di UK Petra Surabaya