Kenduri, Ruang Publik, dan Keberagaman Agama

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
kenduri
Foto: sumberpost.com

Masyarakat Indonesia dalam kesehariannya banyak dipengaruhi oleh alam pikiran yang bersifat spiritual. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia selalu merasa memiliki hubungan istimewa dengan alam.

Upacara tradisional merupakan salah satu bentuk tradisi yang sampai saat ini masih banyak dilaksanakan. Peran upacara adat adalah mengingatkan manusia berkenaan dengan eksistensi dan hubungan dengan lingkungan. Sampai sekarang, eksistensi sebuah upacara keagamaan masih diakui serta dilaksanakan dengan baik. Meskipun, dengan bentuk dan cara yang berbeda di setiap daerah.

Sistem upacara tradisional, yang terkait dengan aspek religi di masyarakat, kerap disebut sebagai kenduri. Kenduri merupakan bentuk upacara adat dengan cara berkumpul bersama untuk mengutarakan doa pada sang pencipta. Permohonan yang dipanjatkan bertujuan untuk meminta keselamatan dan mengabulkan apa yang diinginkan oleh si pemilik hajat.

Kenduri dihadiri oleh handai-taulan, tetangga, rekan sekerja, sanak keluarga, dan lain sebagainya. Dalam perspektif agama atau kepercayaan tertentu, arwah setempat, nenek moyang, dan dewa-dewi yang hampir terlupakan juga hadir dalam upacara kenduri (Geertz, 1989: 13).

Kenduri juga dilakukan di beberapa negara namun dengan nama yang berbeda-beda. Bahkan, di Indonesia pun sebutan kenduri tak sama di tiap wilayah. Ada yang menyebutnya selametan, genduren, walimahan, dan lain sebagainya.

Pada saat ini, pemberitahuan tentang kenduri dilaksanakan dengan cara menyebar undangan kepada tetangga dan keluarga. Undangan bisa berupa kertas, sms (short mesengger) atau undangan verbal yang disampaikan seorang utusan dari pemilik acara untuk mengundang orang-orang secara door to door.

Dalam melaksanakan kenduri, akan ada pemimpin doa sekaligus juru bicara tuan rumah yang menyampaikan hajat pada para undangan. Pemimpin itu biasanya dipilih karena ilmu agama yang dirasa lebih tinggi dibanding yang lain. Bisa juga, karena umurnya lebih tua. Setelah selesai berdoa para hadirin diberikan berkat (buah tangan) tanpa sebelumnya harus memberikan kado atau sumbangan.

Pada sisi ini, dapat disimpulkan bahwa kenduri mengandung modal sosial. Yakni, dalam aspek kebersamaan dan kedermawanan. Modal sosial yang satu ini dapat menjadi salah satu dasar penguatan kesetiakawanan di masyarakat.

Kenduri telah menjadi sebuah realitas social. Di dalamnya, terjadi interaksi sosial antar masyarakat. Tentu saja, sebelum upacara utama dilaksanakan (aktifitas pemanjatan doa), tiap masyarakat saling berdiskusi. Demikian pula, setelahnya.

Proses pertukaran informasi dan berbagai pandangan berkenaan dengan pokok persoalan yang tengah menjadi perhatian publik, berimbas pada lahirnya pendapat umum. Kemudian, dapat dilihat sistem dan mekanisme hidupnya ruang publik. Ya, ruang publik terlihat nyata dan berpangkal dari sebuah ritual kenduri. Modal sosial dalam proses kenduri telah mengkreasi ruang publik nan representatif.

Kenduri Desa Balun

Salah satu prosesi Kenduri yang cukup menjadi perhatian sejumlah peneliti terjadi di Desa Balun, Kecamatan Turi, Lamongan. Di sana, terdapat upacara kenduri yang melibatkan setidaknya tiga agama sekaligus. Ada sejarah yang melatarbelakanginya. Termasuk, sehubungan dengan peristiwa G30SPKI.

Kenduri masyarakat Desa Balun mengikat kebersamaan antar umat beragama Islam, Kristen dan Hindu. Ini sudah menjadi ritual turun temurun. Istilah kenduri populer digunakan oleh masyarakat Desa Balun pada tahun 1979 untuk menggantikan istilah “selametan” yang ditolak masyarakat Kristen. Alasannya, terdapat perbedaan keyakinan akan penyelamatan orang yang sudah meninggal.

Secara umum, kenduri masyarakat berbeda agama di Desa Balun dibagi menjadi tiga macam acara. Pertama, acara syukuran desa seperti halnya kenduri 17 Agustus (peringatan hari kemerdekaan). Kedua, acara pribadi seperti kenduri syukuran pernikahan dan kenduri pembacaan doa bagi keluarga yang baru mendapat musibah kematian. Ketiga, acara syukuran agama seperti yang biasanya dilaksanakan sebelum hari raya agama Islam, Kristen dan Hindu.

Kenduri yang menjadi ruang publik menjelma sebagai arena kontestasi simbolik. Tujuannya, menunjukkan eksistensi agama yang dianut melalui simbol-simbol yang diperlihatkan saat kenduri berlangsung. Simbol-simbol tersebut berbeda di setiap agama.

Dalam agama Islam simbol tersebut meliputi makanan ringan, makanan inti, berkat, uang selawat, Microphon dan sound system, doa keselamatan dan tahlil. Sedangkan simbol dalam kenduri agama Kristen meliputi makanan ringan, makanan inti, berkat, uang selawat, alkitab, lilin, kidung jemaat, doa pembukaan, doa syafaat dan doa hajatan. Peralatan dalam kenduri masyarakat Hindu meliputi Makanan ringan, makanan inti, berkat, uang selawat, bunga, banten yang berisi (canang sari, pajekan, tumpeng pancawarna, tumpeng agung, bubur pitara, tirta pangrukat) dan doa pitrah puja (puja wali dan doa pitrah puja).

Prinsipnya, dipandang dari perspektif tiap agama, kenduri yang dilakukan di desa Balun semata-mata untuk merekatkan hubungan. Baik bagi mereka yang memiliki agama sama, maupun yang berbeda. Dari sudut ini, kenduri dapat dinilai sebagai arena untuk menjunjung kesetaraan dan keadilan di masyarakat.

Berita Terkait

Azza Abidatin

Azza Abidatin

Dosen Universitas Islam Lamongan